Salam dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus.
Semoga tulisan ini dapat menyapamu di tengah kebingungan rohani yang mungkin sedang kamu alami.
Saya percaya setiap orang pasti punya teman atau sahabat—orang yang dipercayai, disayangi, dan seringkali kita ikuti saat mereka mengajak pergi ke suatu tempat. Tapi, sering kali keputusan kita untuk ikut bergantung pada banyak hal: kondisi tubuh, suasana hati, isi dompet, atau jadwal yang padat.
Sekarang saya ingin bertanya:
Bagaimana jika yang mengajak itu adalah Tuhan sendiri?
Apa jawaban kita?
Saya pernah mengalami momen saat membaca Alkitab, dan hati saya bergetar ketika membaca frasa:
“Ikutlah Aku.”
Respon spontan saya waktu itu:
“Aku? Tapi aku bukan rasul, bukan pendeta, bukan siapa-siapa… aku hanya Nona.”
Saya tidak serta-merta berkata “aku siap.” Karena sejujurnya, saya takut menderita. Dan di balik rasa takut itu, saya menyadari: saya belum sepenuhnya percaya.
Saya percaya bahwa Allah menciptakan langit dan bumi, bahwa Yesus mati, bangkit, dan naik ke Surga. Tapi, mengapa saya masih belum bisa percaya penuh kepada-Nya?
Karena saya belum punya pengalaman berelasi pribadi dengan Allah.
Dan mengapa saya belum punya pengalaman itu? Karena saya membawa banyak luka—dan dari luka itu, lahirlah dosa. (Kalau kamu membaca keseluruhan kesaksian saya, kamu akan tahu luka dan dosa apa yang saya maksud.)
✧ Apakah kamu pernah merasa seperti saya?
Kalau iya, mungkin tulisan ini memang untukmu.
Secara sederhana, iman itu lahir dari tiga hal:
-
Tanggapan manusia terhadap panggilan Allah.
-
Kepercayaan yang teguh pada apa yang Dia firmankan.
-
Penyerahan diri yang utuh kepada-Nya.
Roh Kuduslah yang memampukan kita menanggapi panggilan itu. Tapi seringkali, kerapuhan kita lebih dulu menyuarakan ketakutan. Meski begitu, Roh Kudus tetap menopang agar kita bisa berdiri kembali.
✧ Maka pertanyaannya: apa wujud dari iman?
Apakah iman berarti mendapatkan terobosan finansial?
Apakah iman diukur dari seberapa cepat doa dijawab?
Alkitab menunjukkan hal yang berbeda.
Iman sejati tampak dari ketahanan di tengah penderitaan dan pencobaan.
(Bdk. Roma 5:1–5; Yakobus 1:2–4; 1 Petrus 1:6–7)
✧ Saya sering mendengar…
…tentang teman-teman yang sedang mengalami depresi, tapi justru diberi label “kurang iman.”
Tentang mereka yang sudah memberi perpuluhan, tapi tak kunjung mengalami terobosan finansial—dan malah disalahkan karena dianggap kurang percaya.
Padahal, mereka sudah berdoa.
Sudah setia.
Sudah berharap.
Tapi mengapa hidup mereka tetap terasa gelap dan kosong?
Mungkin karena mereka tidak pernah diberi ruang untuk diam dan mendengar Allah berbicara.
“Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”
— Roma 10:17
✧ Iman bertumbuh lewat firman, tapi juga lewat luka yang dibereskan.
Kita bisa rajin berdoa, tetapi jika tidak memberi ruang bagi Tuhan untuk berbicara, maka tidak ada komunikasi sejati di sana.
Terobosan finansial bukan tolok ukur iman.
Abraham tidak disebut benar karena hartanya, tapi karena ia bersedia mempersembahkan Ishak—satu-satunya yang dia miliki.
Saya pribadi?
Kalau Tuhan menawarkan kekayaan seperti Abraham, saya pasti mau. Tapi saya tahu, semuanya bergantung pada kemurahan hati Allah—bukan pada seberapa besar iman saya.
✧ Mukjizat selalu lahir dari belas kasih Allah.
Perempuan yang mengalami pendarahan disembuhkan karena imannya
(Bdk. Markus 5:25–34; Lukas 8:43–48).
Tapi ada juga anak yang dibangkitkan meski orang tuanya hampir tak sanggup percaya
(Bdk. Markus 9:17–27 — ayah anak kerasukan berkata, “Aku percaya. Tolonglah ketidakpercayaanku!”).
Jadi, bukan iman kita yang menentukan segalanya,
tapi hati Allah yang penuh belas kasih.
✧ Maka, untukmu yang sedang merasa rapuh…
Saya ingin berkata:
Imanmu tidak mati hanya karena hidupmu belum berubah.
Imanmu tetap hidup karena kamu masih memilih bertahan.
Mungkin kamu belum bisa mengangkat tangan tinggi-tinggi saat ibadah, tapi Tuhan melihatmu yang masih melipat tangan dalam doa diam-diam.
Dan itu cukup.
Kiranya damai Kristus memberkatimu,
dan menguatkan imanmu yang masih belajar bertumbuh hari demi hari.
Amin.
Dengan penuh hormat, Yessi, berikut terjemahan lengkapnya dalam bahasa Inggris—dijaga agar tetap setia pada nuansa reflektif dan spiritual dari versi aslinya:
✧ Faith That Endures in the Midst of Wounds:
For You Who Have Ever Been Told "Your Faith Isn't Enough"
In the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit.
May this writing find you in the midst of your spiritual confusion and offer a quiet reassurance.
I believe everyone has a friend or companion—someone they trust, love, and often follow when invited to go somewhere. But let’s be honest, whether or not we go usually depends on many things: how we’re feeling physically, our mood, our finances, or how busy our schedule is.
Now I want to ask you:
What if the one who invites you is God Himself?
What would your answer be?
There was a moment when I was reading the Bible, and my heart trembled at these words:
“Follow Me.”
My immediate response was:
“Me? But I’m not a disciple, not a pastor, not anyone special… I’m just Nona.”
I couldn’t bring myself to say, “I’m ready.” Because to be honest, I’m afraid of suffering.
And behind that fear, I realized: I don’t fully trust.
I believe that God created the heavens and the earth, that Jesus died, rose again, and ascended into heaven.
But why can’t I trust Him completely?
Because I’ve never truly experienced a personal relationship with God.
And why haven’t I? Because I carry many wounds—and from those wounds, sin has grown.
(If you read my full testimony, you’ll understand what kind of wounds and sins I’m referring to.)
✧ Have you ever felt the same?
If you have, then perhaps this writing is for you.
In simple terms, faith is born of three things:
-
Our response to God's call.
-
A firm trust in what He has revealed.
-
A full surrender of ourselves to Him.
It is the Holy Spirit who enables us to respond to God's invitation.
But more often than not, our frailty speaks louder than faith.
Even so, the Holy Spirit continues to sustain us—so we can stand again.
✧ So the question remains: What does faith look like?
Is faith about receiving financial breakthroughs?
Is it measured by how quickly our prayers are answered?
Scripture tells a different story.
True faith is revealed in perseverance through suffering and trials.
(cf. Romans 5:1–5; James 1:2–4; 1 Peter 1:6–7)
✧ I’ve often heard stories…
…of friends struggling with depression, only to be told they “lack faith.”
Of people who give their tithe faithfully, yet still experience no financial breakthrough—and are blamed for not believing enough.
But they have prayed.
They have been faithful.
They have hoped.
So why does life still feel dark and empty?
Maybe because they were never given space to be silent—
to simply listen for God’s voice.
“So faith comes from hearing, and hearing through the word of Christ.”
— Romans 10:17
✧ Faith grows through the Word, but also through wounds that are healed.
You can be someone who prays diligently, but if you never allow space for God to speak—
then there’s no true relationship.
Financial breakthrough is not a measure of faith.
Abraham was not counted righteous because of his wealth,
but because he was willing to offer Isaac—his one and only son.
As for me?
If God offered me riches like Abraham, I wouldn’t say no.
But I know: everything depends on God’s mercy, not on how “strong” my faith is.
✧ Miracles are always born from God’s compassion.
The woman who had been bleeding was healed because of her faith
(cf. Mark 5:25–34; Luke 8:43–48).
But there was also a child who was raised from the dead, even though his father could barely believe
(cf. Mark 9:17–27 — the father said, “I believe; help my unbelief!”)
So in the end, it is not our faith that determines everything,
but God’s heart, full of mercy and compassion.
✧ So to you, who feel fragile today…
Let me say this:
Your faith is not dead just because your life hasn’t changed.
Your faith is still alive—because you choose to hold on.
Maybe you can’t lift your hands high during worship right now,
but God sees you folding your hands in silent prayer.
And that is enough.
May the peace of Christ bless you,
and strengthen your faith—one day at a time.
Amen.
This piece was co-written with ChatGPT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar