Rabu, 09 Juli 2025

Keheningan Allah yang Menyelamatkan dan Depresi (God’s Redemptive Silence and the Dark Night of the Soul )

Salam dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus 

Saya baru menyadari bahwa penyakit depresi yang saya alami bukan hanya sekadar sakit jiwa biasa, tetapi merupakan respons atas keheningan Allah.

Henry Blackaby sebagaimana dikutip oleh Philip Yancey dalam buku berjudul Doa berbicara begini:

“Anda dapat merespons keheningan Allah dalam dua cara. Salah satu respons adalah Anda masuk ke dalam depresi, rasa bersalah, dan mengutuk diri sendiri. Respons lain adalah Anda memiliki harapan bahwa Allah akan membawa Anda ke pengetahuan yang lebih mendalam mengenai diri-Nya.”

Hal yang kurasakan saat menghadapi keheningan Allah adalah kecewa. Aku kecewa karena aku memiliki ekspektasi tertentu akan suatu keadaan. Atas ketidaktercapaian ekspektasi tersebut, aku menyalahkan diriku sendiri. Aku menganalisis dan mengintrospeksi diri untuk mencari letak kesalahanku. Atas kesalahanku, aku berasumsi bahwa aku tidak layak mendapatkan rahmat tersebut.

Aku memandang bahwa aku telah ditolak Allah. Sebab, aku tidak baik dalam menjaga dan merawat rahmat-Nya. Hal ini yang kurasakan saat retaknya hubunganku dengan Tuan. Aku baru belajar berharap pada umur 30 tahun, meskipun aku tidak percaya bahwa Tuhan akan mengabulkan harapanku.

Ini merupakan pengalaman kesekian kali aku berhadapan dengan diamnya Tuhan dalam permasalahan retaknya relasi dengan pasangan. Namun, saat dulu, aku selalu menghabiskan waktuku dengan mabuk dan merokok. Mungkin, saat ini merupakan masa pertobatanku untuk mengenal kasih Tuhan lebih dalam tanpa mabuk dan rokok pasca hilangnya orang yang kukasihi.

Sebagai seseorang yang mengidap depresi, tentu saja aku belajar mengenai “diamnya Tuhan karena meninggalkan kita” dengan “diamnya Tuhan karena sedang mengerjakan sesuatu.”

Pada masa aku berdosa dulu, aku merasa terkapar. Dadaku berat seperti membawa batu. Aku berteriak dan tantrum kepada Tuhan, tetapi aku tidak mendengar suara-Nya. Karena, aku tidak membiarkan Dia berbicara melalui firman-Nya. Aku hanya datang ke gereja sekali, sehabis itu aku kembali mabuk dan merokok serta mencari laki-laki padahal laki-laki tersebut tidak memberikan kasih sayang—justru memanfaatkanku. Tapi, entah mengapa aku melakukan itu. Aku merasa diamnya Tuhan karena meninggalkanku yang berdosa ini. 

Pada masa aku bertobat saat ini, aku tidak terkapar lagi. Aku berdoa kepada-Nya dan aku membiarkan diriku mendengar suara-Nya melalui pembacaan renungan, kadang-kadang misa harian, dan misa Minggu. Algoritma TikTok-ku juga kuatur agar selalu ada kesaksian dan ayat Alkitab berseliweran.

Kemudian, aku membaca kesaksian teman-temanku di Instagram. Aku mendapat kekuatan dari situ. Aku mencari suara-Nya dan Dia kutemukan. Dia kutemukan dalam firman-Nya. Aku selalu menemukan kalimat,

“Berdoalah, sampai engkau melihat yang kau doakan.”

Maka, aku selalu berdoa agar dikuduskan hati, pikiran, dan mataku. Aku selalu berdoa agar dikuduskan dengan Tuanku itu.

Aku juga seringkali membaca ayat ini:

Yesaya 41:10 (TB)
“Jangan takut, sebab Aku menyertai engkau,
jangan bimbang, sebab Aku ini Allahmu;
Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau;
Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan.”

Entah kenapa saya percaya diam-Nya karena sedang mengerjakan sesuatu. Meskipun, saya tidak melihat sesuatu apa pun.

Aku tidak tahu bagaimana pengharapanku pada Allah selain daripada mendoakan hubungan ini terus menerus—meskipun kadang bosan mendoakannya. Namun, aku banyak mengikuti kegiatan bermanfaat sambil menunggu. Aku mengikuti kursus menyanyi. Aku mengikuti kursus Kitab Suci. Aku bergabung dengan Legio Maria dan pelayanan paduan suara.

Teman-teman, kita harus belajar positif terhadap Allah. Kita perlu belajar berpandangan bahwa keheningan Allah adalah menyelamatkan kita dari keputusan yang salah.

Saat ini, saya rindu akan perkawinan. Tetapi saya ini rupanya masih membawa luka masa lalu yang sangat dalam. Oleh sebab itu, rusaknya relasi persahabatan masih lebih baik daripada rusaknya relasi dalam rumah tangga—apalagi kekristenan melarang perceraian.

Aku masih percaya bahwa Allah itu baik dan setia. Aku masih percaya bahwa rancangan-Nya membawa keselamatan bagiku. Namun, aku sedang merenungkan: masihkah Tuan ada dalam rancangan agung-Nya Allah atau tidak?

Aku bersedia berjalan dalam iman yang kecil ini, meski aku tidak bisa melihat apa-apa di depan sana. Karena aku percaya bahwa Allah hadir dalam kehidupanku.

Kurasa momen keheningan Allah juga merupakan ujian bagi imanku untuk menumbuhkan kesetiaan, kelemahlembutan, dan penguasaan diri. Agar aku semakin kudus di hadapan Allah.

 Damai Kristus menyertaimu. 

In the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit.

I have recently realized that the depression I suffer is not merely a mental illness, but a response to the silence of God.

Henry Blackaby, as quoted by Philip Yancey in his book Doa, once said:

"You can respond to God's silence in two ways. One response is to fall into depression, guilt, and self-condemnation. The other is to hope that God will lead you to a deeper knowledge of Himself."

What I felt in the face of God's silence was disappointment. I was disappointed because I had certain expectations about a situation. When those expectations were not met, I blamed myself. I analyzed and introspected, looking for the fault within me. Because of my faults, I assumed I was unworthy of that grace.

I saw myself as someone rejected by God—because I had not cared for or stewarded His grace well. That’s how I felt when my relationship with Tuan fell apart. I only learned to hope at the age of 30, even though I still did not believe that God would grant me what I hoped for.

This is not the first time I’ve encountered God’s silence in the matter of a broken relationship. In the past, I drowned myself in alcohol and cigarettes. Perhaps now is my season of repentance—to know God’s love more deeply, without intoxication and smoke, in the wake of losing someone I loved.

As someone living with depression, I’ve come to learn the difference between “God’s silence because He has left us” and “God’s silence because He is working on something.”

In my past sinful life, I felt utterly collapsed. My chest was heavy like carrying a stone. I shouted and threw tantrums at God, but I heard nothing. That was because I didn’t allow Him to speak through His Word. I went to church once, then returned to drinking, smoking, and seeking men who offered no love—only exploitation. Yet I didn’t know why I kept doing it. I felt like God was silent because He had abandoned me in my sin.

Now, in this season of repentance, I am no longer collapsed. I pray to Him, and I allow myself to hear His voice through devotionals, occasional daily Mass, and weekly Sunday Mass. I even curated my TikTok algorithm to fill my feed with testimonies and Bible verses.

I also read testimonies from my friends on Instagram. I find strength there. I seek His voice, and I find Him. I find Him in His Word. I often come across this phrase:

"Pray until you see what you are praying for."

And so, I always pray for the purification of my heart, my thoughts, and my eyes. I pray to be sanctified with Tuan.

I also often return to this verse:

Isaiah 41:10 (NIV)
“So do not fear, for I am with you;
do not be dismayed, for I am your God.
I will strengthen you and help you;
I will uphold you with my righteous right hand.”

Somehow, I believe that His silence means He is working on something—even though I cannot see anything yet.

I don't know how else to hope in God other than to keep praying for this relationship—though I sometimes grow weary of praying. Still, I keep myself occupied with meaningful activities while I wait. I attend vocal lessons. I take part in Bible study. I joined the Legion of Mary and serve in the church choir.

Friends, we must learn to think positively of God. We must learn to believe that God's silence may actually be saving us from making the wrong decision.

At this moment, I long for marriage. But I realize that I still carry wounds from the past—deep ones. That’s why I believe a broken friendship is better than a broken marriage, especially since Christianity forbids divorce.

I still believe that God is good and faithful. I still believe His plans are for my salvation. However, I’m currently reflecting: Is Tuan still part of God’s divine plan for me—or not?

I am willing to walk in this small faith, even if I see nothing ahead. Because I believe God is present in my life.

I believe that this moment of God's silence is a test of my faith—to grow in faithfulness, gentleness, and self-control. So that I may be ever more holy before Him.

Peace of Christ be with you.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mampirlah Dengar Doaku: Ketika Doa Orang Lain Dijawab, Tapi Doaku Belum (Pass Me Not, O Gentle Savior: When Others’ Prayers Are Answered but Mine Are Not)

Salam dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus. Pernahkah teman-teman mendengar lagu ini? "Mampirlah dengar doaku, Yesus penebus. Ora...