Minggu, 14 September 2025

Kesaksian dari Bangsal Psikiatri: Di Mana Aku Belajar Bersyukur dan Bersandar pada Tuhan (A Testimony from the Psychiatric Ward: Where I Learned to Be Grateful and Lean on God)

“Bagaimana rasanya dirawat di bangsal psikiatri?”
Mungkin itu pertanyaan yang jarang kita dengar, bahkan tabu untuk ditanyakan. Tapi aku ingin jujur—karena siapa tahu kisah ini bisa menemani seseorang yang sedang berada di titik paling gelap dalam hidupnya.

Salam dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Semoga tulisan ini dapat menemanimu, terutama bagi yang saat ini sedang berjuang dari balik pintu bangsal psikiatri.


Pengalaman Dirawat di Bangsal

Pada tanggal 30 Agustus – 09 September 2025, aku dirawat inap di bangsal psikiatri karena dorongan mengakhiri hidup yang begitu kuat. Aku merasa malu ketika menyadari bahwa aku membutuhkan perawatan ini. Namun, justru dari tempat itulah aku belajar banyak hal.

Setiap pasien membawa ceritanya sendiri. Ada yang sedang berjuang dengan kanker, ada yang kehilangan kedua orangtuanya, ada yang konflik rumah tangga, bahkan ada yang mengalami overdosis. Ada juga seorang ibu hamil yang harus dirawat di sana. Melihat mereka, aku tersadar—mereka menghadapi beban yang jauh lebih berat, tetapi tetap berjuang untuk hidup.


Ketakutan dan Kesunyian

Hal yang paling kutakuti selama dirawat adalah konflik antar pasien. Setiap kali ada yang marah-marah, aku langsung terpicu dengan ingatan KDRT yang dulu kualami di rumah. Itu membuatku semakin sulit merasa aman.

Selain itu, aku tidak bisa dikunjungi, tidak bisa bertemu siapapun, tidak boleh menggunakan ponsel, bahkan tidak ada banyak kegiatan untuk mengalihkan pikiran. Hari-hari terasa begitu jenuh dan panjang.


Titik Syukur Kecil

Namun, di tengah keterbatasan itu, aku justru belajar bersyukur untuk hal-hal kecil.
Aku bersyukur masih punya ponsel, punya sandal, bisa makan dengan garpu, tubuhku masih sehat, dan memiliki orangtua yang selalu mendukungku.

Syukur kecil inilah yang perlahan-lahan menumbuhkan kembali harapan dalam diriku.


Harapan yang Membuatku Bertahan

Selama perawatan, aku mulai menemukan kembali stabilitas. Aku sadar masih punya mimpi yang ingin kucapai—aku ingin punya rumah dengan halaman luas, tempat aku bisa memelihara burung kakatua, macaw, cockatiel, ayam pheasant, merak, dan juga kolam koi.

Selain itu, keluargaku adalah alasan terbesarku bertahan. Aku tidak bisa membayangkan harus berjalan tanpa mereka.


Tuhan Mengisi Jiwaku yang Kering

Di bangsal itu, aku sempat membaca buku Kuasa Doa Seorang Wanita. Dari buku itu aku disadarkan bahwa jiwaku kering, dan hanya Yesus yang bisa memulihkannya.

Aku juga sadar bahwa semangatku sudah pudar. Dan semangat yang pudar hanya bisa dipulihkan dengan memuji Tuhan. Aku sering lupa bersuka cita, padahal sukacita sejati hanya datang ketika aku menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya.


Penutup: Harapan dari Bangsal

Aku sungguh berharap pengalaman ini menjadi yang pertama sekaligus terakhir bagiku untuk dirawat inap di bangsal psikiatri. Tapi jika pun ada yang harus melalui jalan ini lagi, aku ingin mengatakan:

Kamu tidak sendirian. Tuhan tidak pernah meninggalkanmu. Ada harapan, ada masa depan, bahkan dari balik jeruji bangsal yang tampak menyesakkan.


Call to Action

Kalau kamu sedang membaca ini dan merasa hidupmu berat, aku ingin mengajakmu:

  • Beranilah mencari pertolongan, itu bukan aib.

  • Hargailah hal-hal kecil di sekitarmu—sebab syukur bisa menjadi jembatan menuju harapan.

  • Dan yang paling penting, serahkan dirimu pada Tuhan, karena hanya Dia sumber sukacita sejati.

🙏 Semoga kisah ini bisa menemanimu, menguatkanmu, atau menjadi pengingat bahwa hidup, betapapun beratnya, tetap layak diperjuangkan.




“What does it feel like to be admitted to a psychiatric ward?”
It’s a question rarely asked, maybe even considered taboo. But I want to share honestly—because perhaps this story can accompany someone who is walking through the darkest season of their life.

In the name of the Father, the Son, and the Holy Spirit.
May this writing be a companion to you, especially if you are currently struggling behind the doors of a psychiatric ward.


My Days in the Ward

From August 30 – September 9, 2025, I was admitted to the psychiatric ward due to strong suicidal urges. I felt ashamed when I realized I needed this kind of treatment. Yet, it was there that I learned many things.

Every patient had their own story. Some were battling cancer. Some had lost both parents. Others were facing marital conflict or had overdosed in an attempt to end their lives. There was even a pregnant woman being treated in the ward. Seeing them, I realized—they were carrying burdens far heavier than mine, yet they kept fighting to live.


Fear and Loneliness

My biggest fear during treatment was conflicts among patients. Every time someone got angry, it triggered me deeply, reminding me of the domestic violence I had witnessed in my family when I was younger. It was hard to feel safe.

On top of that, I wasn’t allowed to have visitors, couldn’t meet anyone, couldn’t use my phone, and had very limited activities to pass the time. The days felt long and suffocating.


The Gift of Small Gratitudes

And yet, in the middle of those restrictions, I learned to be grateful for the smallest things.
I was grateful to still have a phone.
Grateful for a pair of sandals.
Grateful for a fork to eat with.
Grateful that my body was still healthy.
Grateful for parents who remained supportive and responsive to my needs.

These small gratitudes slowly rekindled hope within me.


The Dreams that Kept Me Alive

During treatment, I began to find stability again. I realized I still had dreams to pursue—I longed to own a house with a wide yard, where I could care for parrots, macaws, cockatiels, pheasants, peacocks, and a koi pond.

Above all, my family was my greatest reason to stay alive. I couldn’t imagine walking this road without them.


When God Restored My Dry Soul

In the ward, I came across a book titled The Power of a Praying Woman. Through it, I realized that my soul was dry, and only Jesus could restore it.

I also realized that my spirit had faded. And a faded spirit can only be renewed through praising God. I had forgotten how to rejoice, when in fact, true joy only comes when I surrender myself fully to Him.


Closing: A Hope from the Ward

I deeply hope that this will be my first and last experience of being admitted to a psychiatric ward. But even if someone else has to walk this path, I want to say:

You are not alone. God has never left you. There is hope, there is a future—even from behind the locked doors of a ward that feels suffocating.


Call to Action

If you are reading this and life feels unbearably heavy, I want to invite you to:

  • Be brave enough to seek help—it is not shameful.

  • Cherish the small things around you—gratitude can be a bridge to hope.

  • And most importantly, surrender yourself to God, for He alone is the source of true joy.

🙏 May this story be a companion to you, a source of strength, or a reminder that life, no matter how heavy it feels, is still worth fighting for.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kesaksian: Menemukan Tuhan dalam Lagu Lonely (Testimony: Finding God in the Song Lonely)

Salam dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. What if you had it all But nobody to call? Maybe then you'd know me 'Cause I'v...