Rabu, 28 Mei 2025

Citra Saleh, Luka yang Dalam (Beneath the Holy Image, a Deep Wound)


📜 Versi Bahasa Indonesia

Salam dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus,

Belakangan ini, aku membaca tentang kasus kekerasan yang terjadi di balik panggung sebuah pertunjukan yang selama ini dikenal sebagai hiburan keluarga. Di balik sorotan lampu dan tepuk tangan penonton, ternyata tersembunyi kisah-kisah menyakitkan—tentang kekerasan fisik, tekanan mental, dan pelanggaran terhadap martabat manusia.

Yang membuatku terdiam adalah kontras mencolok antara citra luar dan kenyataan yang tersembunyi.
Institusi yang terlihat “berprestasi” dan menjanjikan masa depan gemilang justru menyisakan trauma mendalam. Anak-anak dipuji karena penampilannya, tapi di balik layar mereka disetrum, dikurung, bahkan dirantai. Semua ini terjadi dalam sistem yang tampak rapi dan “baik.”

Citra Tak Selalu Sejalan dengan Kebenaran

Kita hidup di zaman ketika penampilan bisa dipoles sehalus mungkin.
Ketika keberhasilan bisa dikemas layaknya kebahagiaan.
Ketika kekuasaan bisa tersembunyi di balik senyum dan panggung yang memukau.

Namun kebenaran tak selalu hadir di depan kamera.
Kadang, ia hanya berbisik dari balik pintu kamar yang gelap, dari air mata yang tak terlihat, dari jeritan yang diredam oleh sistem.


Renungan dari Injil

Yesus sendiri mengecam para ahli Taurat dan orang Farisi:

“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik! Sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya tampak bersih, tetapi di dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Demikian juga kamu, di luar tampak benar di mata orang, tetapi di dalam penuh kemunafikan dan kedurjanaan.”
— Matius 23:27-28 (TB1)


Panggilan untuk Kita Semua

Tulisan ini bukan untuk menuding siapa pun, melainkan mengajak kita bercermin:

  • Apakah aku rajin berdoa, tapi lupa memperlakukan sesama dengan kasih?

  • Apakah aku bicara tentang pengampunan, tapi diam-diam menekan orang untuk tunduk padaku?

  • Apakah aku aktif melayani, tapi menjadikan pelayananku sebagai alat kontrol?

  • Apakah aku tampak saleh, tapi sebenarnya menindas mereka yang lemah dan tak bersuara?

Jangan-jangan, tanpa sadar, kita sedang menjadikan kerohanian sebagai topeng bagi ego dan luka yang belum sembuh.


Penutup

Aku menulis ini sebagai pengingat:
Bahwa kerohanian bukan untuk memoles citra, melainkan untuk membentuk hati.
Bahwa kasih bukan soal ritual, tapi relasi yang memerdekakan.
Dan bahwa Tuhan tidak mencari yang sempurna, melainkan yang bersedia menanggalkan topeng dan berjalan dalam terang.

Jika kamu merasa tertuduh oleh tulisan ini, ketahuilah: itu bukan niatku.
Aku pun masih belajar.
Tapi jika kamu merasa tergugah—barangkali ini adalah bisikan Roh Kudus agar kita membuka hati, dan membiarkan kasih sejati bekerja, mulai dari rumah.

Salam damai Kristus,
Nona Nagisa


🌍 Versi Bahasa Inggris (Refined Translation)

In the name of the Father, the Son, and the Holy Spirit,

Recently, I came across a story about abuse behind a public performance once celebrated as family entertainment.
Beneath the stage lights and the applause, there lay stories of pain—physical abuse, mental torment, and violations of human dignity.

What struck me deeply was the jarring contrast between the polished image and the hidden truth.
An institution praised for its “achievements” and promises of a bright future turned out to be a place of trauma.
Children were applauded on stage, but behind the scenes, they were shocked, chained, and confined—all under a system that appeared disciplined and “good.”


Image Does Not Always Reflect Truth

We live in an age where appearances can be expertly crafted.
Where success can be packaged as joy.
Where power can be cloaked in charm and applause.

But truth does not always shine under the spotlight.
Sometimes it whispers from the corners of a dim room, from unseen tears, from silenced cries drowned out by a system too strong to challenge.


Reflection from the Gospel

Jesus Himself rebuked the Pharisees and teachers of the law:

“Woe to you, teachers of the law and Pharisees, you hypocrites! You are like whitewashed tombs, which look beautiful on the outside but on the inside are full of the bones of the dead and everything unclean. In the same way, on the outside you appear to people as righteous but on the inside you are full of hypocrisy and wickedness.”
— Matthew 23:27–28 (NIV)


A Call for All of Us

This reflection is not to point fingers—but to invite introspection:

  • Do I pray regularly but fail to treat others with love?

  • Do I speak of forgiveness but secretly demand control?

  • Do I serve actively yet use my ministry to dominate others?

  • Do I appear devout, yet oppress the weak and voiceless?

Perhaps, unknowingly, we’ve allowed spirituality to become a mask—hiding egos and unhealed wounds.


Closing Thoughts

This is a reminder that true faith is not about polishing an image, but about shaping a heart.
That love is not found in rituals, but in relationships that liberate.
And that God is not looking for perfection, but for those willing to remove their masks and walk in His light.

If you feel accused by this reflection, know that was never my intention.
I’m learning, too.
But if you feel stirred—perhaps it’s the Holy Spirit inviting us to open our hearts, and let authentic love begin again… starting at home.

Peace of Christ,
Nona Nagisa

 

 

*This piece was co-written with ChatGPT.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gengsi

--- Tak dapat tangan menggenggam Sebab gengsi Tak dapat merengkuh Sebab gengsi Tak dapat kasih diucap Sebab gengsi Tak dapat mengecup Sebab ...