Salam dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Aku berharap tulisan ini menemukanmu dalam keadaan sehat walafiat.
Awalnya, aku hendak menulis tentang syukur—karena itu yang lebih aku pahami. Aku bersyukur atas banyak hal: atas doa-doa yang dikabulkan, atas pertolongan Tuhan yang datang di waktu yang tepat. Tapi entah mengapa, hatiku justru mendorongku untuk menulis tentang sukacita. Jujur saja, aku tidak tahu kenapa. Karena sampai sekarang, aku sendiri belum yakin apakah aku sudah bersukacita… atau bahkan tahu apa itu sukacita.
Yang aku tahu, aku masih mengingat luka-luka yang belum sembuh. Aku mungkin sudah mati rasa terhadapnya, tapi bukan berarti sudah pulih. Maka menulis tentang sukacita rasanya seperti bicara tentang sesuatu yang jauh—sekaligus dekat. Aneh, ya?
Tapi justru karena itu, aku menulis. Sebagai bentuk perjalanan. Sebagai ruang untuk mencari dan mengenali apa itu sukacita—dengan jujur, dengan terbuka.
Ketika Doa Menjadi Air Mata
Tahun 2019, aku memilih berhenti bekerja karena sedang berduka atas kepergian Oppung Mami. Saat aku merasa cukup kuat untuk kembali bekerja, aku mulai melamar pekerjaan. Tapi nyatanya, mendapatkan pekerjaan tidaklah semudah itu. Teman-temanku sudah bekerja, sementara aku masih bergumul sebagai pengangguran—diiringi tekanan dari keluarga.
Aku berdoa dengan segala cara. Bahkan, pernah suatu kali aku berdoa lalu muntah setelahnya. Tubuhku ikut lelah. Tapi di antara semua doa itu, ada satu kalimat yang kurasa menyentuh hati Tuhan lebih dalam daripada yang lain:
“Tuhan, terserah mau buat aku nganggur sampai kapan. Asal jangan sampai tahun depan. Tahun depan adikku mau kuliah. Kasihan mamak dan bapak.”
Dan pada Januari 2020, aku diterima di salah satu kantor hukum terbaik. Pekerjaan itu sesuai dengan cita-citaku sebagai advokat. Rasanya seperti pelukan lembut setelah badai panjang. Mungkin… mungkin itu adalah benih sukacita. Meskipun aku tetap tidak tahu apakah itu benar-benar sukacita. Karena aku tidak tahu bagaimana seharusnya perasaan sukacita itu terasa.
Sukacita yang Tidak Bisa Dipaksakan
Kalau kamu sedang mengalami masa sulit—seperti aku dulu saat menganggur—dan kamu tidak bisa bersukacita, itu bukan salahmu. Kita tidak bisa memaksa diri untuk bersukacita. Kadang, orang lain yang melihat lebih dulu apakah ada sukacita dalam diri kita. Sukacita, seperti buah Roh lainnya, tumbuh pelan-pelan dan bisa dirasakan orang di sekitar kita, bahkan sebelum kita menyadarinya.
Aku menulis ini bukan karena aku sudah mengerti semuanya. Aku menulis ini karena aku ingin jujur. Karena aku rindu tetap berjalan dalam kasih Kristus, meski belum bisa tersenyum dengan penuh.
Untukmu yang Juga Masih Mencari
Jika kamu juga sedang mencari sukacita, mari kita cari bersama. Mungkin sukacita tidak selalu hadir dalam bentuk tawa atau senyum lebar. Kadang, ia hadir dalam bentuk napas lega. Kadang, dalam pelukan diam. Kadang, dalam kekuatan untuk tetap bangun di pagi hari dan berkata, “Tuhan, aku belum menyerah.”
It's not our fault kalau kita tidak bisa bersukacita hari ini. Tapi jangan berhenti melangkah. Karena sukacita bukan ujian kelulusan. Ia adalah buah dari relasi yang terus bertumbuh.
Kiranya damai sejahtera Kristus menyertai kita semua.
— Nona Nagisa
In the name of the Father, the Son, and the Holy Spirit.
I hope this writing finds you in good health and peace.
At first, I intended to write about gratitude—because that’s what I understand better. I am grateful for many things: for prayers that have been answered, for God’s help that always comes at the right time. But somehow, my heart nudged me to write about joy. To be honest, I don’t know why. Because even now, I’m not sure if I’ve ever truly felt joy… or even know what joy really is.
What I do know is—I still remember wounds that haven’t healed.
Maybe I’ve grown numb to them, but that doesn’t mean I’ve recovered.
And so, writing about joy feels like talking about something both far away—and strangely near.
Weird, isn’t it?
But perhaps that’s exactly why I’m writing.
As a part of the journey.
As a space to search and recognize what joy really is—with honesty, with openness.
When Prayer Becomes Tears
In 2019, I chose to quit my job while grieving the death of my grandmother, Oppung Mami.
When I felt strong enough to return to work, I started applying to jobs.
But in reality, getting hired wasn’t that easy.
My friends had all found jobs, while I was still struggling with unemployment—and with pressure from my family.
I prayed in every way I could.
There was even a time when I prayed and ended up vomiting right after.
My body was exhausted.
But in the midst of all those prayers, one sentence felt like it pierced God’s heart more deeply than the others:
“Lord, it’s okay if I stay unemployed for a while. Just please… not next year. My little brother is starting college. Please don’t burden Mom and Dad even more.”
And in January 2020, I was accepted to one of the best law firms in the country.
That job aligned perfectly with my dream of becoming a lawyer.
It felt like a soft embrace after a long storm.
Maybe… maybe that was the seed of joy.
Even though I still didn’t know if it really was joy.
Because I didn’t know what joy was supposed to feel like.
Joy Cannot Be Forced
If you’re going through a hard time—like I once did during my unemployment—and you’re finding it hard to feel joyful, it’s not your fault.
We can’t force ourselves to feel joy.
Sometimes, others can sense it in us before we ever notice it ourselves.
Joy, like the other fruits of the Spirit, grows slowly.
And often, others feel it before we do.
I’m not writing this because I understand everything.
I’m writing this because I want to be honest.
Because I long to keep walking in Christ’s love, even if I still don’t know how to smile fully.
To You Who Are Still Searching, Too
If you’re also searching for joy, let’s search together.
Maybe joy doesn’t always come in the form of laughter or wide smiles.
Sometimes, it comes as a deep sigh of relief.
Sometimes, in a silent embrace.
Sometimes, in the quiet strength to wake up in the morning and say, “Lord, I haven’t given up yet.”
It’s not our fault if we don’t feel joyful today.
But don’t stop walking.
Because joy is not a test we have to pass.
It is a fruit—born from a relationship that keeps growing.
May the peace of Christ be with us all.
— Nona Nagisa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar