Rabu, 27 Agustus 2025

Mengapa Yesus Memberitahukan Penderitaan-Nya? (Why Did Jesus Foretell His Suffering?)

Salam dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus ✝️

Pernahkah kamu merenung, apa sebenarnya faedah Yesus memberitahukan penderitaan-Nya lebih dahulu kepada murid-murid-Nya?

Dalam pembelajaran kelas Matrikulasi atau Katekumen, hal ini dijelaskan sebagai bentuk persiapan: agar murid-murid tidak kaget ketika penderitaan itu benar-benar terjadi. Namun, semakin direnungkan, semakin terasa ada makna yang lebih dalam.

Yesus bukan sekadar memberi peringatan, melainkan juga memperlihatkan ke-Allahan-Nya. Sebab, tidak ada manusia yang bisa mengetahui dengan tepat apa yang akan dialaminya di masa depan—kecuali Allah sendiri yang mengetahui segala rancangan. Pemberitahuan penderitaan itu menjadi tanda bahwa Yesus benar-benar adalah Tuhan, yang tidak hanya berjalan menuju salib, tetapi juga sudah melihat keselamatan yang menanti di baliknya.

Maka, ketika kita membaca bagian Injil ini, kita diajak bukan hanya untuk memahami penderitaan Kristus, melainkan juga untuk menguatkan iman kita. Bahwa hidup kita pun ada di dalam tangan Allah yang tahu segala sesuatu—bahkan sebelum kita mengalaminya.

Pertanyaannya sekarang: apakah kita berani berjalan dalam rancangan-Nya, meskipun jalannya tidak selalu nyaman, karena percaya bahwa Dia sudah melihat akhir yang baik?

🙏 Kalau kamu juga pernah merenungkan hal ini, atau mungkin sedang berjuang mempercayai rencana Tuhan di tengah situasi sulit, tuliskan refleksimu di kolom komentar. Mari kita saling menguatkan dalam iman.


In the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit ✝️

Have you ever wondered, what is the real purpose of Jesus foretelling His suffering to His disciples?

In catechumen or matriculation classes, this is often explained as a form of preparation: so that the disciples would not be shocked when His suffering actually happened. Yet, the more I reflect on it, the more I see a deeper meaning.

Jesus was not merely giving a warning—He was revealing His divinity. No human being can predict with certainty what they will go through in the future, except God Himself who knows every plan. The foretelling of His suffering stands as a sign that Jesus truly is God, who not only walked toward the cross but had already seen the salvation waiting beyond it.

So when we read this passage of the Gospel, we are invited not only to understand Christ’s suffering but also to strengthen our faith. Our lives, too, are in the hands of God who knows everything—even before we experience it.

The question is: are we willing to walk in His plan, even when the path is uncomfortable, trusting that He has already seen the good ending?

🙏 If you’ve also reflected on this, or if you’re struggling to trust God’s plan in the midst of challenges, share your thoughts in the comments below. Let’s strengthen one another in faith.

Minggu, 24 Agustus 2025

Ketika Rasanya Hidup Tak Lagi Nyaman (When Life Feels No Longer Comfortable)

Salam dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus.

Pernahkah kamu merasa hidup ini begitu berat, meskipun tidak sedang ditekan dari segala sisi? Pernahkah kamu merasa hampa, bahkan ketika tidak ada beban besar yang nyata?

Beberapa waktu lalu, aku terhenyuh mendengar lirik lagu Idgitaf berjudul Berakhir di Aku:

"Ku sudah tidak nyaman lagi
Bermimpi pun tahu diri
Apa sebaiknya pergi?"

Lirik itu menamparku. Aku pun merasa… ya, aku juga tidak nyaman lagi hidup di dunia ini. Ada kalanya aku membayangkan untuk pergi dari dunia ini.

Mungkin ada di antara teman-teman yang pernah merasakan hal serupa. Jika iya, maka tulisan ini aku persembahkan untukmu.


Rindu untuk Sembuh

Meski pikiran itu datang, aku tetap berusaha melawan. Dalam hatiku, ada kerinduan untuk sembuh—baik secara psikis maupun mental. Aku percaya, yang aku butuhkan bukanlah “menghilang”, melainkan kasih sayang.

Namun, sering kali aku merasa tidak disayang. Bahkan, aku pernah bertanya-tanya dalam doa: Apakah Tuhan benar-benar sayang padaku?

Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk curhat pada mamaku. Dengan tenang, beliau berkata:

“Mungkin kasih sayang itu nantinya datang dari seseorang, pasangan hidupmu. Karena kalau orangtua sudah meninggal, dan adikmu bekerja jauh, siapa lagi? Tapi kalau kata Philip Mantofa, hanya Yesus yang mengasihimu kekal. Kasih manusia itu sementara.”

Jawaban mama membuatku merenung panjang. Aku pun bertanya lagi,

“Tapi kenapa aku terkadang sulit merasa dan memahami bahwa hanya Tuhan Yesus yang benar-benar mengasihi aku?”

Mama menjawab pelan,

“Karena dari dirimu sendiri belum membuka hati untuk Yesus masuk.”

Mendengar itu, aku hanya bisa menangis. Ada pergumulan batin yang sulit kujelaskan dengan kata-kata.


Pergumulan Seorang Petobat Baru

Aku jujur saja, aku adalah seorang petobat baru. Baru dua tahun terakhir aku belajar mengikut Kristus. Masih sering bingung, bagaimana caranya membuka hati agar Kristus sungguh masuk dan menguasai batin ini—meski aku gemar melayani-Nya.

Hari ini, aku tidak punya jawaban untuk semua itu. Tidak ada hal bijak yang bisa kusampaikan.

Aku hanya ingin menangis.
Maukah engkau menangis bersamaku?


Damai Kristus menyertaimu.


Jika kamu pernah mengalami hal yang sama, atau sedang berada dalam pergumulan iman yang serupa, aku ingin mendengar ceritamu. Boleh bagikan di kolom komentar, atau cukup bisikkan doa dalam hati. Mari kita saling mendoakan, agar tetap kuat melawan pikiran yang ingin membuat kita menyerah.




In the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit.

Have you ever felt that life is so heavy, even when you are not being pressed from every side? Have you ever felt empty, even when there is no obvious burden?

Recently, I was struck by the lyrics of Idgitaf’s song Berakhir di Aku (Ends with Me):

“I no longer feel comfortable
Even in dreams, I know my place
Should I just leave?”

Those words pierced my heart. I realized… yes, I, too, no longer feel comfortable living in this world. Sometimes, I even imagine leaving it behind.

Maybe some of you have felt the same way. If so, then this writing is for you.


Longing to Heal

Even when those thoughts come, I still choose to fight them. Deep down, I long to be healed—mentally and emotionally. I believe what I truly need is not to disappear, but to experience love.

Yet, so often, I feel unloved. Sometimes, I even ask in my prayers: Does God really love me?

One day, I shared my heart with my mother. Gently, she said:

“Perhaps that love will someday come through someone, your future spouse. Because when your parents are gone, and your sibling works far away, who else will be there? But as Philip Mantofa once said, only Jesus’ love is eternal. Human love is only temporary.”

Her words made me pause. I then asked,

“But why is it so hard for me to feel and understand that it is only Jesus who truly loves me?”

My mother softly replied,

“Because you have not yet opened your heart for Jesus to enter.”

Hearing that, I could only weep. Inside, I was wrestling with something I could hardly put into words.


The Struggles of a New Believer

To be honest, I am still a new believer. For only the past two years I’ve been learning to follow Christ. And yet, I still often wonder—how do I really open my heart so that Christ may enter and reign within me, even though I love serving Him?

Today, I don’t have the answers. I don’t have wise words to share.

All I want is to cry.
Will you cry with me?


May the peace of Christ be with you.


If you have ever felt the same, or if you are going through a similar struggle of faith, I would love to hear your story. You may share it in the comments, or simply whisper a prayer in your heart. Let us lift one another up in prayer, so that we may remain strong against the thoughts that tempt us to give up.


Kamis, 21 Agustus 2025

Damai Sejahtera atas Luka Lama (Peace Over Old Wounds)

Salam dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus.

Tadi, saya mengalami pop-up ingatan tentang masa lalu yang buruk. Saya teringat bahwa dulu saya bodoh dalam matematika. Hal ini membuat saya tidak bisa meraih juara di bidang tersebut. Namun, di sisi lain, saya gemar pelayanan di gereja.

Sayangnya, keaktifan saya dalam pelayanan gereja tidak diapresiasi oleh bapak saya. Beliau pernah berkata, "Bapak mah pinginnya kamu juara, bukan organisasi di gereja."

Apakah teman-teman pernah mengalami hal yang sama? Jika ya, mungkin tulisan ini bisa cocok untukmu.

Meski begitu, hal yang saya rasakan dari pop-up ingatan tersebut sekarang berbeda. Saya tidak lagi merasakan hurt feeling. Justru yang muncul adalah damai sejahtera.

Puji Tuhan, doa penyembuhan batin yang saya panjatkan bahkan dalam tidur pun terkabulkan. Saya merasa bersyukur bisa merasakan damai sejahtera atas pengalaman buruk tersebut.

Semoga, bukan hanya untuk peristiwa ini saja saya bisa merasakan damai sejahtera, melainkan juga dalam berbagai pengalaman hidup lainnya. Kiranya damai sejahtera itu terus menyertai kita.

Damai Kristus menyertaimu. 



In the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit.

Earlier today, I experienced a pop-up memory from a difficult past. I remembered how I used to struggle with mathematics. Because of that, I could never win any awards in the subject. Yet, on the other hand, I loved serving in the church.

Unfortunately, my father did not appreciate my active involvement in church ministry. He once said, “What I want is for you to win, not to be active in church organizations.”

Have you ever experienced something similar? If so, perhaps this writing may speak to you.

Even so, what I felt from recalling that memory today was different. I no longer carry hurt feelings. Instead, what fills my heart now is peace.

Praise the Lord, the prayer for inner healing—even in my sleep—has been answered. I feel grateful that I can experience peace over such a painful memory.

I pray that this peace will not only cover this one event but also extend into other areas of my life. May this peace continue to be with us always.

Peace of Christ be with you.


Selasa, 19 Agustus 2025

Luka, Dosa, dan Pengampunan (Wounds, Sin, and Forgiveness)

Salam dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus.

Karena kebodohan saya, saya kehilangan kegadisan saya. Ya, saya kehilangan keperawanan saya. Lalu, saya bercerita kepada sahabat saya untuk mendapat dukungan.

Saya bilang menurut saya, "saya ini diperkosa oleh dia". (dugaan saya pun tidak ada buktinya).

Lalu, sahabat saya menanyakan kebenarannya ke dia. Dan hampir setiap kali bertemu bilang, "seks itu dosa, Yes."

Kata-kata itu mencambuk saya dengan perih.

Saya juga tahu itu dosa. Tapi, saya juga tidak mengerti mengapa dosa itu tetap dilakukan.

Suatu ketika di Jakarta. Bertahun-tahun kemudian.

Sahabat saya ini datang pada saya.

Katanya, "aku diperkosa."

Saya mengepalkan tangan saya. Karena, saya teringat akan luka masa lalu yang pernah dia buat. Tapi, saya tidak ingin membalas luka itu.

Saya juga tidak menanyakan detail kejadiannya. Saya hanya mendengarkan.

Adakah teman-teman yang pernah punya pengalaman serupa?

Jika teman-teman punya pengalaman serupa, tulisan ini untuk teman-teman.

Berdasarkan perjalanan hidupku, aku memahami bahwa alasan kita melakukan hubungan seksual pra-perkawinan karena self-esteem yang rendah.

Yesaya 43:4a
"Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau,..."

Ucapkan berulang-ulang ayat ini sebelum teman-teman tidur, agar ayat ini bisa mengafirmasi alam bawah sadar teman-teman.

Apakah teman-teman bisa mengampuni teman yang menghakimi teman-teman?

Jika belum dan justru tergoda untuk membalas dendam pun juga aku tidak akan mencela dan menghakimi teman-teman.

Hal yang teman-teman lalui itu sakit dan tidak mudah, sehingga angin godaan pun sangat besar menerpa teman-teman.

Aku berharap suatu saat teman-teman bisa menang melawan godaan teman-teman. 

Kristus memberkati. 


In the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit.

Because of my foolishness, I lost my virginity. Yes, I lost my chastity. Then, I shared my story with my friend to seek support.

I said, “I think I was raped by him.” (though I had no proof of my assumption).

Then, my friend asked him about it, and almost every time we met, she would say, “Sex is a sin, Yes.”

Those words struck me painfully.

I also knew it was a sin. But I still couldn’t understand why that sin kept being committed.

One day in Jakarta, years later—

This same friend came to me.

She said, “I was raped.”

I clenched my fist, because I remembered the wound she once caused me. But I did not want to return that wound.

I did not ask her for details. I simply listened.

Have any of you ever had a similar experience?

If you have, then this writing is for you.


Based on my own journey, I came to understand that one reason we fall into premarital sex is because of low self-esteem.

Isaiah 43:4a
"Since you are precious and honored in My sight, and because I love you,..."

Repeat this verse over and over before you sleep, so that it may affirm your subconscious.

Can you forgive a friend who once judged you?

If you can’t, and instead feel tempted to take revenge, I will not condemn or judge you.

What you have gone through is painful and not easy, and so the winds of temptation can be very strong against you.

I hope that one day you will be able to overcome your temptations.


May Christ bless you


Selasa, 05 Agustus 2025

Di Tengah Penantian Jodoh, Aku Menolak Minyak Pelet (In the Waiting Season, I Refused a Love Charm)

Salam dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus

Apakah teman-teman sedang dalam masa penantian jodoh?

Jika iya, maka tulisan ini cocok untuk kalian.

Aku merasa bahwa hidup ini tidak mudah dijalani jika ada pilihan-pilihan hidup di dalamnya.

Kemarin, saya ditawari pimpinan saya minyak bulus untuk mempermudah jodoh.

Apakah teman-teman tahu minyak bulus? Itu loh, yang buat pelet orang dari dukun. Minyak pelet ini berasal dari dukun di Kalimantan atau Sulawesi.

Bagi orang yang sudah berpendidikan tinggi, minyak pelet ini tidak masuk akal. Tapi, di tengah-tengah kehausan tentang jodoh, minyak pelet ini memiliki angin yang tinggi untuk menggoda imanku.

Namun, saya memilih untuk percaya kepada Kristus dan rancangan-Nya dibandingkan menggunakan minyak pelet dukun.

Semoga Kristus cepat mengantarku ke pasanganku.

Damai Kristus menyertai


In the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit. Amen.

Are you currently in a season of waiting for your future spouse?

If so, then this writing might speak to you.

I feel that life is not easy to go through, especially when it comes with so many choices.

Just yesterday, my superior offered me minyak bulus — a type of oil supposedly used to attract a partner more easily.

Do you know what minyak bulus is? It’s a kind of love charm oil made by shamans from Kalimantan or Sulawesi.

For those of us who are highly educated, such things may sound irrational. But in the midst of longing and thirst for companionship, this love charm carried a strong breeze of temptation against my faith.

Yet, I chose to trust Christ and His plans over using a shaman’s love spell.

May Christ swiftly lead me to the one He has prepared for me.

Peace of Christ be with you.

Cukupkah Kasih Karunia-Nya di Tengah Depresi? (Is His Grace Enough in the Midst of Depression? ✨)

Salam dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus. Ada satu pertanyaan yang akhir-akhir ini sering muncul dalam hatiku: “Haruskah aku bermegah...