Salam dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Teman-teman, pernahkah kalian merasa marah sampai rasanya mencekik leher?
Aku pernah. Dan itu menjadi salah satu pengalaman paling jujur tentang rapuhnya diriku di hadapan Tuhan.
Awalnya, aku sedang mencoba sebuah eksperimen rohani kecil — aku ingin belajar mengampuni orang-orang yang pernah bersalah padaku.
Aku pikir, untuk bisa sungguh-sungguh mengampuni, aku harus berani mengingat kembali luka-luka yang dulu kubiarkan terkubur.
Maka aku mulai membuka satu per satu kenangan yang menyakitkan itu:
KDRT.
Pelecehan seksual.
Ketika usahaku tidak dihargai.
Ketika hubungan yang kubangun dengan sungguh-sungguh justru hancur.
Semua itu muncul seperti badai yang tak bisa kuhentikan. Dan di tengah badai itu, Tuhan seperti diam saja. Aku tidak bisa berdoa, tidak bisa menangis dengan tenang. Hanya marah, dan tubuhku bergetar menahan semuanya.
Sampai suatu hari, aku sedang bersaksi — dan ia tidak suka dengan kesaksianku.
Pertengkaran kecil kami tiba-tiba menjadi bensin bagi semua luka yang belum sembuh itu.
Kemarahan yang selama ini kutahan akhirnya meledak.
Aku berteriak, menangis, dan tubuhku seolah dicekik oleh amarahku sendiri.
Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi, selain satu kalimat yang keluar dari dasar jiwaku:
“Tuhan, selamatkan aku!”
Entah bagaimana, sesudah itu aku mulai sedikit tenang.
Temanku mengirim voice note, dan di situ ia berkata dengan lirih bahwa aku sering merendahkan dia.
Kata-kata itu seperti menamparku. Aku tersadar — mungkin Tuhan sedang menegurku lewat suara yang tidak ingin kudengar.
Kemarahan itu perlahan surut.
Bukan karena aku tiba-tiba menjadi suci atau kuat, tapi karena di tengah kekacauan itu, aku sadar: Tuhan tetap ada.
Ia tidak meninggalkanku, bahkan ketika aku berteriak dan kehilangan kendali.
Mungkin, pengampunan tidak selalu dimulai dengan doa yang tenang.
Kadang, ia dimulai dari teriakan minta tolong di tengah amarah.
Dan di sanalah kasih Tuhan bekerja — lembut, tapi pasti. πΏ
In the Name of the Father, the Son, and the Holy Spirit
Friends, have you ever felt so angry that it felt like your throat was tightening? I have.
It began when I was trying to experiment with forgiveness — I wanted to forgive the people who had hurt me by remembering what they did.
I remembered the moments of domestic violence.
I remembered the moments of sexual harassment.
I remembered the times when my efforts went unappreciated.
I remembered the broken relationships I had to face.
One day, I was sharing my testimony, and my friend didn’t like what I said. The argument that followed became like fuel poured onto a fire.
I couldn’t pray. But I screamed, “Lord, save me!”
Somehow, my anger began to subside after my friend sent me a voice note saying that I had always made her feel small.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar