Sabtu, 20 Juli 2024

Until The End

 

Del melangkah gontai ke kamarnya. Ia memutar kaset Avenged Sevenfold. Selang beberapa saat, terputarlah lagu Until the End, lagu kesukaanya. Tiba-tiba, air mata menetes dari pelupuk matanya saat mendengarkan lagu Until the End. Ia teringat akan sahabatnya.

***

         Tiga tahun lalu adalah awal semester 2 di kelas X di sekolah Elf Eoweyn, di Sussex High School. Elf Eoweyn, adalah anak yang pintar, rajin, sederhana, baik, ramah, dan selalu ranking 1 dikelasnya dan penggemar berat Avenged Sevenfold. Kemudian, Kepala Sekolah pun masuk ke kelas dengan seorang anak perempuan, bernama Del.

         Delicious Yena adalah anak seorang mafia bernama Dark Riddle. Dia anak broken home. Ibunya pergi meninggalkannya karena kelakuan ayahnya yang tak pernah berubah. Dia sebenarnya cantik, pintar, pandai bergaul, hanya saja dia cuek, tomboy, dengan rambut pendek. Dia orang kaya, karena kekayaan ayahnya sebagai mafia. Del pun menuju tempat duduknya.

 

Hey, what’s your name?” tanya Del pada teman sebangkunya.

“Hey, I’m Eoweyn, Elf Eoweyn, you?”, jawab Elf.

I’m Delicious.You can call me Dell!” sambil bersalaman

         

Selang beberapa saat, Guru Bahasa Inggris pun masuk ke kelas,

Good morning students.”, sapa guru itu.

Morning, mam.”, jawab para murid serempak.

“Please, open your book page 135. “, titah guru itu.

Sambil membuka buku Del pun berbicara kepada Elf, “I think this lesson gonna be sucks, hahahaha, don’t you?

I don’t think so.” jawab Elf

***

          Kriiingg!!!!! Bel pun berbunyi, tanda pelajaran sudah berakhir. Anak-anak pun merapikan buku mereka, termasuk Del dan Elf. Anak- anak yang lainnya pun terlihat berhamburan keluar kelas. Kemudian, datanglah mobil jemputan yang biasa mengantar Del. Semua orang pun melihat mobil itu tak terkecuali Elf, semua mata mengikuti mobil itu bergerak sampai berhenti di depan Del. Semua orang langsung tercengang. Mobil itu berupa limosin dengan eksterior mobil yang mirip Cadillac STS dan DTS, tapi mengalami sedikit perubahan, mobil ini dipres dengan berbagai logam seperti aluminium, titanium dan material keramik dirancang agar dapat menahan proyektil peluru. Pintu mobil ini tebalnya 8 inci dan bentuknya mirip dengan pintu kabin pesawat Boeing 787.

          Kemudian, keluarlah seorang lelaki berperawakan tinggi, tegap, gagah, bagaikan prajurit, membukakan pintu bagi Del dan Elf. Del pun mempersilakan Elf masuk mobil. Elf pun masuk, dan meraba kaca mobil tersebut. Kaca mobil ini setebal 5 inchi yang dirancang anti peluru dan memiliki penyerap lapisan kaca, plastik dan perisai “anti-spall” untuk mencegah pecahan kaca masuk ke wilayah penumpang.

 

“Mobil lo keren banget, Del” puji Elf.

 “Akh, biasa aja.”, tangkis Del

“Papah lo pasti kaya banget ya. Kerjanya apa?” Tanya Elf.

“Akh, kaya apanya … Well, Bokap gue sih mafia. Dia licin hukum.” Jawab Del, “Pak, kita gak langsung pulang. We’re going to Elf’s house.”, seru Del pada Pak Sopir.

Ok, Miss.”, jawab Pak Sopir itu.

 

          Mendengar penjelasan Del bahwa ayahnya Del adalah seorang mafia, Elf pun langsung menelan ludah. Elf pun menggenjot jok mobil Del, sangat empuk. Dari sisi interior jok, seperti halnya Cadillac CTS juga dijahit dengan tangan. Kursi penumpang belakang, sangat luas dengan tempat duduk eksklusif. Di tengah panel jok belakang mobil ini ditempeli sebuah logo. Logo itu bergambar tengkorak yang bersayap yang terbakar api dan dibawah logo tertera tulisan Death Metal yang tertulis seperti darah yang menetes. Stempel logo ini juga tertempel di luar pintu belakang. Ini adalah logo lambang kelompok mafia ayah Del.

 

         Setelah lama di perjalanan, akhirnya mereka pun sampai juga di rumah Elf. Mereka pun turun dari mobil. Rumah Elf cukup di bilang sederhana bergaya minimalis dengan cat warna putih dan sedikit corak hitam. Halaman yang luas dan rimbun sangat nyaman dan teduh. Setelah Elf memencet bel, datanglah seorang pria berperawakan tinggi sekitar 180cm, tegap, berkumis tipis, berambut putih menyambut mereka. Ya dialah Ayahnya Elf. Mereka pun langsung masuk ke dalam. Mereka pergi ke lantai 2 ke sebuah ruangan yang terletak di tengah lorong.

 

“Eh, ini kamar lo?“ tanya Del.

“Iya, emang kenapa?” jawab Elf.

“Rapi amat! Yang ngeberesin kamar ini tiap hari siapa?”

“Gue lah, kann kamar gue. Masa emak gue.”

“Lah gak pake pembantu?”, tanya Del.

“Enggak lah, Gua diajarin buat mandiri sama bokap.”

“Oh… gitu.… Btw, lo anak tunggal?” Tanya Del lagi.

“Enggak, gue 2 bersaudara. Gua paling bontot. Kalau lo sendiri berapa bersaudara?”

“Enak dong, ada temennya di rumah. Gue mah Cuma sendirian di rumah. Gua gak ada saudara. Jadi, gua gak ada temen di rumah.”

“Oh. gitu. Tidak seenak yang lu kita, Del. Soalnya, abang gue nyebelin.”

         

Tak terasa jam menunjukan pukul 19.00.  

“Nak, ayo makan malam. Udah jam 7 malam.” Teriak Ayah Elf.

 

Elf dan Del pun langsung turun menuju ruang makan. Disana sudah tersedia makanan di meja makan, ada Sphagetti, Kalkun, dan lain-lain. Akhirnya mereka pun makan bersama. Del pun bercerita tentang keadaan keluarganya. Ayah dan Abang Elf berbincang-bincang mengenai latar belakang Del. Mereka terkejut ketika mendengar pekerjaan ayahnya Del. Setelah, selesai makan malam, Del pun pamit pulang. Keluarga Elf mengantar sampai ke pintu gerbang dan terlihat bahwa Dell dijemput oleh ayahnya, Dark. Dark beperawakan besar, botak, tinggi, bertato. Mereka pun pulang naik Mercedes Bens.

 

You must be careful with her. Look at her father, Bad daddy.” Kata Ayah Elf

“Aku bisa jaga diri, dad” jawab Elf.

***

          Dua tahun berlalu, Del dan Elf makin hari makin dekat. Apalagi mereka sama-sama penggemar Avenged Sevenfold. Mereka selalu menyanyikan lagu AVENGED SEVENFOLD itu saat pelajaran kosong seperti orang gila. Mereka memiliki baju couple AVENGED SEVENFOLD. Apabila libur semester, mereka sering menyempatkan diri untuk menonton konser AVENGED SEVENFOLD di luar negeri.             

           Saat itu, Pelajaran pertama adalah pelajaran kesenian. Ketika guru sedang menjelaskan, Elf merasa terganggu oleh Doni, teman sekelasnya yang iseng. Saat melihat Del diganggu, Elf bangkit dan menuju ke arah Doni dan menamparnya,

 

“Petakilan banget lu, Don! teriak Del.

“Elf Eowyn, apa yang kamu lakukan disana? Mengapa kamu menampar temanmu?” Kata guru itu

“Dia mengganggu Del, Pak.” Jawab Del

“Apakah benar, Del?” Tanya Guru Kesenian mengkonfrontasi

“Iya, Pak.” Jawab Del

“Mengapa kalian main hakim sendiri? Mengapa tidak melapor bahwa Doni mengganggu Del kepada saya? Nanti, kalian bertiga ikut saya.” Tanya guru itu.

 

        Setelah kejadian itu, Elf dipanggil ke ruang BP. Ayahnya pun turut dipanggil ke ruang BP. Karena, akhir-akhir ini, Elf mengalami penurunan drartis dalam pelajarannya. Karena Elf menampar Doni, Elf pun diskors.

 

What s wrong with you, Elf? What’s wrong? I told you be carefull with Del. Don’t get to close with Del.” Kata ayahnya sambil menangis.

It’s not about Del.” Jawab Elf.

So what?”, Tanya Ayah Elf lagi.

“I’m just bored with my life. My life is not perfect, sedangkan Mama dan Papa Del selalu ada buat Del, meskipun mereka bercerai. Kalau Ayah sibuk kerja, aku gak tahu mama dimana.Jawab Elf.

Mendengar jawaban Elf menangislah ayah Elf dan menjawab, “Ayah kerja untuk kamu. Kalau bukan untuk kamu. Kamu gak akan bisa nonton konser AVENGED SEVENFOLD di luar negeri. Meskipun kita gak tau kemana Mamamu pergi, tapi Ayah selalu ada buat kamu. Ayah izin dari kantor supaya bisa menemani kamu di ruang BP.”      

Mendengar penjelasan Ayahnya, Elf pun menyesal dan menangis. Tapi, penyesalan Elf tidak mengurangi ketegasan Ayah Elf untuk tidak menghukum Elf karena menampar Doni dan main hakim sendiri. Elf pun dihukum tidak boleh keluar rumah dan dilarang bermain dengan Del.

         Sudah seminggu Elf diskors dan dilarang main oleh Ayahnya. Malam ini ia merasa jenuh. Elf pun memutuskan pergi ke rumah Del. Elf mengendap-endap ke gudang untuk mengambil tali tambang. Setelah tali tambang didapat, dia mengendap-endap kembali ke ke kamarnya. Dia berencana keluar lewat jendela kamar. Dia membuka jendela kamar dengan perlahan-lahan dan melompat ke balkon. Di balkon, dia mengikat simpul di pagar balkon agar memudahkannya turun dari balkon dengan tali tambang. Setelah itu, dia berlari cepat-cepat mencari taksi.

Del melihat Elf dari jendela kamarnya turun dari taksi. Dia pun segera turun dari kamarnya. Del menyambut Elf dan mengajaknya ke kamarnya.

 

“Eh, kok, lo bisa ke rumah gue? Bukannya, lo lagi diskors, ya?” tanya Del.

“Gua bosen banget di rumah. Jadi, gua kabur. Hahaha.” Jawab Elf

“Tunggu ya, gue ambil minum dulu.”

 

        Di seberang rumah Del, ada sebuah rumah kosong yang gelap yang tidak pernah dihuni oleh siapapun. Di dalam gelapnya rumah kosong, ada sebuah pergerakan di dalam rumah kosong itu.

 

“Eh bro, kayaknya itu deh anaknya si Dark“ kata seorang pria sambil mengarahkan senjata ke arah jendela kamar Del.

“Ayo cepat tembak!”, kata seorang pria satunya lagi

 

DOOOOORR!!!  Elf pun tertembak di kamar Del.

 

 Saat Del kembali ke kamar dengan membawa minum, Del terkejut dan menjatuhkan minuman yang ia bawa ketika melihat Elf tergeletak bersimbah darah. Del langsung berteriak histeris memanggil Papahnya. Papah dan para bodyguard Del langsung bergegas memasuki ruang kamar Del pasca mendengar teriakan histeris Del.

 

“Del.” Panggil Elf dengan merintih. “Jika aku tidak punya waktu lebih banyak, please, tell my father that I love him.”

“Enggak, lo bakal baik-baik aja. Lo bisa kasih tau Bokap lo sendiri.” Jawab Del sambil menangis terisak

“Dengarkan aku. Don’t change the way you thing of me we’re from the same story.”  Pesan Del pada Elf mengutip penggalan lagu Until The End karangan Avenged Sevenfold sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir.

 

***

        Kini sudah 1 tahun berlalu. Del tak pernah melupakan kenangan tentang Elf, sahabat yang ia kasihi. Semua terekam jelas dalam benak Del saat mereka bernyanyi-nyanyi lagu Avenged Sevenfold dalam melewati suka-duka kehidupan. Elf pun menangis sambil menyanyikan lagu Until the End.  

 

Don't Change the way you think of me,

We're from the same story.

Life moves on, can't stay the same.

But for some of us, I'm worried.

 


Del walked wearily into her room. She played an Avenged Sevenfold cassette. After a few moments, the song Until the End began to play, her favorite song. Suddenly, tears flowed from her eyes as she listened to Until the End. She remembered her best friend.


Three years ago, it was the beginning of the second semester of grade 10 at Sussex High School. Elf Eoweyn was a smart, diligent, humble, kind, and friendly student, always ranked first in her class and a big fan of Avenged Sevenfold. Then, the principal entered the classroom with a new student, a girl named Del.

Delicious Yena was the daughter of a mafia boss named Dark Riddle. She came from a broken home; her mother had left because her father never changed his ways. She was actually beautiful, intelligent, sociable, but indifferent and tomboyish, with short hair. She was rich because of her father’s wealth as a mafia leader. Del went to her seat.

“Hey, what’s your name?” Del asked her seatmate.

“Hey, I’m Eoweyn, Elf Eoweyn. And you?” Elf replied.

“I’m Delicious. You can call me Dell!” she said, shaking hands.

A few moments later, the English teacher entered the classroom.

“Good morning, students,” greeted the teacher.

“Morning, ma’am,” replied the students in unison.

“Please, open your book to page 135,” instructed the teacher.

While opening her book, Del whispered to Elf, “I think this lesson is gonna suck, hahaha, don’t you?”

“I don’t think so,” Elf answered.


Kriiinggg!!! The bell rang, marking the end of class. The students packed up their books, including Del and Elf. The others hurried out. Soon, Del’s usual pickup car arrived. Everyone’s eyes turned toward it, including Elf. They all stared in astonishment. It was a limousine resembling a Cadillac STS and DTS, but modified with aluminum, titanium, and ceramic materials to withstand bullets. Its doors were 8 inches thick, like the cabin doors of a Boeing 787.

A tall, sturdy man, like a soldier, stepped out and opened the door for Del and Elf. Del invited Elf into the car. Elf touched the window — 5 inches thick, bulletproof, with protective anti-spall layers.

“Your car is so cool, Del,” praised Elf.

“Ah, it’s nothing,” Del brushed it off.

“Your dad must be super rich. What does he do?” asked Elf.

“Ah, rich? Not really… Well, my dad’s a mafia boss. He slips through the law,” Del replied. “Sir, we’re not going straight home. We’re going to Elf’s house.”

“Ok, Miss,” the driver responded.

Elf swallowed hard upon hearing that Del’s father was a mafia boss. The seat was soft, hand-stitched like in a Cadillac CTS, with a luxurious backseat. On the panel was a flaming winged-skull logo with the words Death Metal, looking like dripping blood. The same logo was stamped outside the car — the mafia symbol of Del’s father.

Finally, they arrived at Elf’s home, a modest white minimalist house with a spacious, leafy yard. After ringing the bell, Elf’s tall father, with thin mustache and white hair, greeted them. They went upstairs to Elf’s tidy room.

“Wow, is this your room?” Del asked.

“Yeah, why?” Elf replied.

“So neat! Who cleans it every day?”

“I do, it’s my room, not my mom’s.”

“No maid?”

“Nope. My dad taught me to be independent.”

“Oh, I see. By the way, are you an only child?”

“No, I’m the youngest of two. How about you?”

“I’m alone at home. No siblings, no friends to play with.”

“Well, it’s not that fun either. My brother’s annoying.”

At 7:00 PM, Elf’s father called them down for dinner. The table was filled with spaghetti, turkey, and more. During dinner, Del shared about her family. Elf’s father and brother were shocked when they learned her father’s occupation. Afterward, Del’s father, Dark, came to pick her up. Big, bald, tall, tattooed, he arrived in a Mercedes-Benz.

“You must be careful with her. Look at her father. Bad daddy,” Elf’s father warned.

“I can take care of myself, Dad,” Elf replied.


Two years passed, and Del and Elf grew closer, especially as fellow Avenged Sevenfold fans. They sang A7X songs like crazy during free periods. They even had couple shirts and often traveled abroad for A7X concerts.

One day in art class, Doni, a mischievous classmate, disturbed Del. Elf stood up and slapped him.

“You’re such a brat, Don!” Del shouted.

“Elf Eoweyn, what did you just do? Why did you slap your friend?” the teacher asked.

“He disturbed Del, sir,” Elf replied.

“Is that true, Del?”

“Yes, sir.”

“You can’t take matters into your own hands! Report it to me next time. The three of you, follow me.”

Afterward, Elf was called to the counseling room. Her father was summoned too, since Elf’s grades had dropped drastically. Because Elf slapped Doni, she was suspended.

“What’s wrong with you, Elf? I told you to be careful with Del. Don’t get too close to her,” her father said in tears.

“It’s not about Del,” Elf replied.

“Then what?”

“I’m just bored with my life. My life isn’t perfect. Del’s mom and dad are still there for her, even though they’re divorced. You’re always busy at work. I don’t even know where Mom is.”

Her father cried. “I work for you. Without me, you couldn’t watch Avenged Sevenfold abroad. Even if your mother is gone, I’m still here for you. I even took leave from work to be here in the counseling room with you.”

Elf regretted her words and cried. But her father remained firm: Elf was grounded and forbidden to see Del.

A week into suspension, Elf grew restless. That night, she sneaked into the storage to grab a rope, tied it to her balcony, and escaped. She hailed a taxi to Del’s house.

From her window, Del saw Elf arrive and rushed down to welcome her.

“Eh, how did you get here? Aren’t you suspended?” Del asked.

“I was bored at home. So, I escaped. Hahaha.”

“Wait, I’ll grab us some drinks.”

Across the street, in a dark abandoned house, two men were hiding.

“Hey, bro, that’s Dark’s kid,” one said, aiming his weapon.

“Quick, shoot!” the other replied.

BANG! Elf was shot in Del’s room.

When Del returned with drinks, she dropped them in horror — Elf lay bleeding. She screamed for her father. Dark and his bodyguards rushed in.

“Del…” Elf whispered weakly. “If I don’t have more time, please tell my father that I love him.”

“No! You’ll be fine. You’ll tell him yourself,” Del sobbed.

“Listen to me… Don’t change the way you think of me, we’re from the same story…” Elf whispered, quoting Until the End by Avenged Sevenfold, before breathing her last.


A year passed. Del never forgot her beloved best friend. The memories of singing Avenged Sevenfold songs together in joy and sorrow remained. Del wept as she sang Until the End.

Don’t change the way you think of me,
We’re from the same story.
Life moves on, can’t stay the same.
But for some of us, I’m worried.


Nona Nagisa

Cikarang, 14 Mei 2011

Disusun untuk memenuhi nilai bahasa Indonesia kelas X

Dengan banyak perubahan.

Jumat, 19 Juli 2024

Sajak kepada Pujangga Agung

Duhai Pujangga Agung,

Anganku, relung hatiku semakin disempurnakan dalam kasihMu

Harapku, langkah kakiku semakin menapaki jejak langkahMu

Tapi, runtuh kekuatanku dalam mengikutiMu

Daku kian lelah menghaturkan kurban syukurku dalam sajak-sajakku padaMu

Pula kutulikan kian sabdaMu dalam relungku

Ya, Pujangga Agung, Engkau pun ingat betapa kejamnya lakuku

 

Wahai Pujangga Agung,

Tuntun daku kembali mendengar sabdaMu

Janganlah undur penyertaanMu kala daku terjatuh

Topanglah kepedihanku yang penuh kabung

Sebab, daku hendak kembali datang kepada kakiMu yang terpaku

Hendak kunaikkan kembali kurban syukurku

Dalam sajak-sajak penuh pilu diiringi irama kerapuhan

 

Oi Pujanggaku Yang Agung,

Pada malam-malam temaram kuserukan namaMu dalam kehampaan

Usaplah isak tangisku seperti sedia kala

Kala Engkau menuntunku untuk tetap setia di dalam kesabaran

Di perjalanan yang kian hari kian gelap untuk kutapaki

 



O Great Poet,

My thoughts, the chambers of my heart, are ever refined in Your love.
My hope, that my steps may ever follow the trace of Yours.
Yet my strength collapses in pursuing You.
I grow weary of offering my sacrifice of gratitude through my verses to You.
And I have deafened myself to Your word within my soul.
Yes, O Great Poet, You remember well the cruelty of my deeds.

O Great Poet,
Guide me once more to hear Your word.
Do not withdraw Your presence when I fall.
Uphold my sorrow that overflows with grief.
For I long to return again to Your nailed feet,
To raise again my sacrifice of gratitude,
In verses steeped in anguish, accompanied by the rhythm of frailty.

O my Great Poet,
In the dimness of night I cry out Your name in desolation.
Wipe away my tears as You once did,
When You led me to remain faithful in patience,
Along the path that grows darker with each passing day.

Nona Nagisa,

Jakarta, 10 Februari 2024

Kamis, 18 Juli 2024

Balada Peluh Seorang Ayah

Seorang ayah meringis pilu

Mendengar istri menenangkan rengek anaknya meminta nasi

Terdengar hidupnya hanya benalu

Ditanggung mentua yang risi 

Merasa diri bagaikan pengungsi

Di tengah keluarga sendiri seperti tak termilik

Takdir Gusti tak bisa ditilik 

Hidup bagaikan dihantam besi


Datang kawan dari Palu

Diajak merantau ke Bekasi

Pamit kepada Ibu yang sedih sembilu

Demi harapan rizki tanpa basa-basi

Di negeri orang mulai beradaptasi

Semangat dirubah panik 

Menjadi waria demi menghindar kudapan basi

Misi dermaga membuat gidik


Ramadhan diujung hulu 

Gejolak rindu merasuk di segala sisi

Menjadi waria sungguh dirundung malu

Terhadap anak dan istri di pinggir sungai Musi

Ayah pulang dengan saku terisi 

Untuk modal menyewa bilik

Suara lentik terdengar pekik

"Ayah, kerja dimana si?"




A father winces in sorrow

Hearing his wife soothe their child’s cries for rice

He feels his life is but a parasite

A burden to in-laws, restless and hollow

Feeling like a refugee in his own home

As if he belongs to no one

Fate of the Almighty cannot be foreknown

Life struck as if by iron’s stone

A friend arrives from Palu

Inviting him to seek fortune in Bekasi

He bids farewell to his mother, pierced with sorrow true

Chasing livelihood, without ceremony

In a foreign land he learns to adapt

Turning panic into spirit anew

Becoming a waria* to escape stale scraps

A mission at the harbor that chills through

Ramadhan at the river’s bend

Longing stirs, flooding every side

Being a waria* fills him with shame to no end

Toward his wife and child by the Musi’s tide

Father returns with pockets not bare

To rent a small room, with humble means

A gentle voice breaks the air:

“Father, where do you work?”


* Waria: an Indonesian term referring to male-to-female transgender or transvestite individuals.

Nona Nagisa,

Bandung, 08 Mei 2019

Cukupkah Kasih Karunia-Nya di Tengah Depresi? (Is His Grace Enough in the Midst of Depression? ✨)

Salam dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus. Ada satu pertanyaan yang akhir-akhir ini sering muncul dalam hatiku: “Haruskah aku bermegah...