Minggu, 25 Mei 2025

Cermin Perenungan: Najis, Kudus, dan Kasih Allah (A Mirror of Reflection: Unclean, Holy, and the Love of God)

Akhir-akhir ini, aku sedang membaca Kitab Imamat. Banyak frasa yang muncul—tentang penyakit najis, ini itu najis, dan lain-lain. Lama-kelamaan aku bertanya dalam hati: “Kenapa sih ini semua dibilang najis?” Itulah pergumulanku selama menjalani bacaan Alkitab satu tahunan ini.

Sampai suatu hari, aku menonton video dari Bible Project yang membahas tentang kekudusan. Dan di sanalah aku merasa tercerahkan.

Ternyata, Hukum Taurat tentang najis dan cemar bukan dibuat untuk menyalahkan manusia, melainkan sebagai bagian dari ritus pengudusan. Tujuannya satu: agar umat bisa datang kepada Tuhan dalam kekudusan.

“Sebab Aku ini TUHAN, Allahmu. Maka kamu harus menguduskan dirimu dan kamu harus kudus, sebab Aku ini kudus.”
Imamat 11:44a

Itu bukan tentang menunjuk seseorang sambil berkata, “Kamu najis!” atau “Kamu cemar!”—karena semangat seperti itu justru bertentangan dengan hukum kasih: kasihilah sesamamu manusia.

Di film The Chosen, diperlihatkan bagaimana kerasnya perlakuan masyarakat Israel terhadap perempuan yang mengalami pendarahan. Dan aku pun mulai melihat: yang rusak itu bukan hukum Tuhan, melainkan interpretasi yang lupa akan belas kasih.

Namun, ada satu hal yang masih belum kupahami: seperti apa rasanya datang kepada Tuhan dalam kekudusan? Karena, jujur, aku belum merasa kudus.

“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.”
Matius 5:8

Doakan aku, ya. Supaya aku bisa bertumbuh dalam kekudusan. Supaya aku tahu rasanya datang ke hadirat Tuhan bukan dengan rasa malu atau takut, tapi dengan rasa hormat dan kasih. Supaya aku bisa lebih mengerti hati-Nya.


Sumber: Bible Project

 

 

Lately, I’ve been reading the Book of Leviticus.
So many phrases keep appearing—about unclean diseases, this is unclean, that is unclean, and so on.
Eventually, I found myself asking, “Why is everything called unclean?”
That’s been my inner struggle throughout this one-year Bible reading journey.

Then one day, I watched a video from The Bible Project about holiness.
And that’s when I felt enlightened.

It turns out, the laws of uncleanness and impurity in the Torah weren’t created to blame or shame people,
but rather as part of the process of sanctification.
The purpose was simple: so that the people could come before God in holiness.

“For I am the LORD your God. Consecrate yourselves therefore, and be holy, for I am holy.”
— Leviticus 11:44a

It was never about pointing fingers and saying, “You are unclean!” or “You are impure!”
Such a spirit would go against the very heart of the law of love: love your neighbor as yourself.

In the series The Chosen, there’s a scene that shows the harsh treatment of a woman suffering from bleeding.
And then I began to see:
What’s broken is not God’s law, but the interpretation that forgets compassion.

Still, there’s one thing I haven’t yet understood:
What does it feel like to come before God in holiness?
Because honestly, I don’t feel holy.

“Blessed are the pure in heart, for they shall see God.”
— Matthew 5:8

Please pray for me.
That I may grow in holiness.
That I may one day come into God’s presence not with shame or fear,
but with reverence and love.
That I may come to understand His heart more deeply.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Di Tengah Penantian Jodoh, Aku Menolak Minyak Pelet (In the Waiting Season, I Refused a Love Charm)

Salam dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus Apakah teman-teman sedang dalam masa penantian jodoh? Jika iya, maka tulisan ini cocok untuk...