Jumat, 23 Mei 2025

Dua Kematian, Dua Reaksi (Two Deaths, Two Reactions)

Salam dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.

Jika kamu sedang menangis dalam diam,
atau tengah duduk sendiri di antara kehilangan yang tak kamu mengerti,
aku berharap tulisan ini bisa menjadi pelukan kecil untuk hatimu yang lelah.

Namaku Nona Nagisa. Beberapa orang memanggilku Cewe Rapuh.
Tapi di rumah keluarga ibuku, aku adalah Cucu Favorit—
terutama bagi dua orang yang membentuk masa kecilku: Oppung Doli dan Oppung Mami.

Aku tumbuh dalam pelukan mereka.
Setiap pagi, aku menemani Oppung Doli olahraga.
Setiap kali Oppung Mami memasak, aku berada di lengannya.
Bahkan ketika aku bangun tidur, yang pertama kucari bukan Mama atau Bapak,
tapi Oppung Mami.

Suatu hari, Oppung Doli jatuh sakit.
Kami semua bergantian menjaganya di rumah sakit.
Tapi hari itu, aku, Mama, dan Mamatua sedang keluar sebentar.
Tiba-tiba Mamatua menerima telepon, dan kami bergegas kembali ke rumah sakit.

Saat tiba, Tulang memanggilku untuk masuk ke ruang ICU.
Aku tidak mengerti mengapa aku dipanggil.
Yang aku tahu, Oppung sedang tertidur sangat lelap,
dan suasananya sunyi sekali.

Keesokan harinya, semua orang di rumah memakai baju hitam.
Aku tidak paham.
Aku masih bermain dan tertawa dengan sepupu-sepupuku.
Hingga seseorang memintaku untuk berfoto bersama Oppung Doli,
yang kini terbaring dalam peti.

Aku menolak.
Aku tidak mengerti kenapa harus foto dengan orang yang sedang tidur.
Aku hanya ingin kembali bermain.

Mungkin...
aku terlalu kecil untuk memahami bahwa foto itu adalah salam perpisahan terakhir.
Aku hanya ingin bermain—karena duniaku belum mengenal kata “selamanya.”


Photo on Unsplash by Laura Ohlman

Suatu ketika, aku mulai memahami bahwa "tert tidur"-nya Oppung Doli bukanlah tidur biasa.
Itu adalah kematian—sebuah keterpisahan sunyi yang tak memberi ruang temu meski hati merindu.

Pelan-pelan, kenyataan itu menghantamku.
Aku merasa sesak, berat, seolah ada bagian dari dunia kecilku yang hancur dan tak bisa disusun kembali.
Setiap kali aku memanggil nama Oppung, tak ada jawaban.
Hanya diam.
Dan dari situ, rasa kehilangan itu menjelma penyesalan yang tak terucap.

Aku menyesal tak ikut berfoto saat kesempatan terakhir itu datang.
Aku pikir aku masih punya waktu. Tapi ternyata, yang tersisa hanya kenangan samar dan tangis yang tak bisa menjemput kembali.

Aku tidak tahu bagaimana cara berduka.
Jadi aku mencari pelarian.
Aku memanggil Oppung sambil menyalakan rokok.
Aku menangis dalam botol yang kuanggap bisa menenangkan,
padahal nyatanya hanya membuat duka itu makin keruh dan kabur.

 
Photo by Natalie Parham on Unsplash     
 
 
 
(Ada banyak problematika yang akan ditulis pada kesaksian yang lain.) 

Suatu hari, aku membaca sebuah tulisan di IGNITE GKI. Tulisan itu mengutip satu ayat yang rasanya... menusuk, tapi dalam cara yang lembut.

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.”
— Matius 11:28 (TB2)

Aku tidak tahu mengapa aku menangis saat membacanya.
Tapi air mata itu terasa seperti pintu kecil yang terbuka setelah lama terkunci.
Mungkin... itu pertama kalinya aku merasa dipanggil pulang.
Dipanggil untuk berhenti lari.
Dipanggil untuk menangis di pelukan yang tak menghakimi.

Momen itu menjadi titik balik.
Aku mulai membaca renungan harian.
Aku mulai belajar berdoa saat hatiku berantakan,
alih-alih mencari pelarian dalam rokok atau alkohol.
Untuk pertama kalinya, aku datang kepada Tuhan Yesus bukan hanya sebagai nama di dinding gereja,
tapi sebagai Pribadi yang bisa kuberi air mataku.

Lalu, tahun 2018, datanglah kehilangan kedua.
Saat aku sedang dalam perjalanan untuk ke gereja naik angkot,
Tulang menelepon:
Tulang mau tanya ai Oppung Mami meninggal?

Aku tidak membaca grup. Aku benar-benar tidak tahu.
Aku histeris. Menangis.
Dan tubuhku lemas sampai aku hanya mampu duduk di Alfamart, dekat rumah sakit di Bandung.
Darahku, jujur saja, berteriak:
“Ayo merokok. Minum alkohol.”

Tapi aku menahan. Sumpah, itu beratnya bukan main.
Aku mengepalkan tangan, menahan dorongan yang begitu kuat—
bukan dengan kekuatanku,
tapi karena kuasa Tuhan yang menopangku dalam duka.

Aku tidak heroik.
Aku resign dari kantor.
Aku menganggur selama satu tahun, hanya untuk memberi ruang bagi dukacita.
Tapi mungkin... justru dalam ruang itulah, Tuhan mengajarku bagaimana cara menangis bersama-Nya.

Di hidup ini, kita semua akan bertemu yang namanya perpisahan.
Yang disebut kematian.

Tidak ada yang siap.
Kita sudah berdoa, berobat, berjaga-jaga.
Tapi Tuhan seringkali memilih waktu yang tak kita pahami.

Saat menulis kesaksian ini, satu ayat terngiang dalam hatiku:

“Cukuplah anugerah-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.”
— 2 Korintus 12:9 (TB2)

Teman-teman yang terkasih,
Kita tidak harus selalu kuat.
Kita tidak perlu buru-buru "sembuh" dari kehilangan.
Jika kamu, seperti aku dulu, pernah lari ke rokok atau alkohol—aku tidak akan menghakimi.
Aku pun seorang pendosa.

It’s okay. Take your time.
Tapi dalam keberdosaan dan kelemahan itu,
mari perlahan belajar percaya:
kuasa Kristus tetap bisa turun menaungi kita.
Mungkin tidak langsung. Mungkin sambil gemetar. Tapi tetap nyata.

Aku berdoa semoga kamu bisa memilih jalan yang lebih aman untuk menampung air matamu—
seperti aku yang memilih resign, agar bisa benar-benar menangis dan berproses.

Kiranya damai sejahtera dari Bapa, Putra, dan Roh Kudus
menyertai langkah kita, bahkan di jalan-jalan yang tak kita mengerti.

*Aku pribadi... masih sering gagal percaya bahwa kuasa Kristus juga turun untukku.
Tapi aku terus belajar.
Dan kalau kamu juga sedang belajar seperti aku—
mari kita saling mendoakan.



In the name of the Father, the Son, and the Holy Spirit.

If you are crying in silence,
or sitting alone in the midst of a loss you cannot understand,
I hope this writing can be a small embrace for your weary heart.

My name is Nona Nagisa.
Some people call me the Fragile Girl.
But in my mother's family home, I am the Favorite Grandchild—
especially to the two people who shaped my childhood: Oppung Doli and Oppung Mami.

I grew up in their embrace.
Every morning, I accompanied Oppung Doli as he exercised.
Every time Oppung Mami cooked, I was clinging to her arms.
Even when I woke up, the first person I looked for wasn’t Mom or Dad,
but Oppung Mami.

One day, Oppung Doli fell ill.
We all took turns watching over him at the hospital.
But that day, I was out for a moment with Mom and Mamatua.
Suddenly, Mamatua received a phone call, and we rushed back to the hospital.

When we arrived, Tulang called me into the ICU.
I didn’t understand why I was summoned.
All I knew was that Oppung was sleeping very deeply,
and everything felt unusually quiet.

The next day, everyone at home wore black.
I didn’t understand.
I was still playing and laughing with my cousins.
Until someone asked me to take a photo with Oppung Doli,
who was now lying in a coffin.

I refused.
I didn’t understand why I should take a photo with someone who was sleeping.
I just wanted to go back and play.

Maybe…
I was too little to comprehend that the word “sleeping” meant something else.
That it meant death—a quiet separation that allows no reunion, no matter how much the heart longs for it.

Slowly, that truth struck me.
I felt breathless, heavy, like a piece of my little world had shattered beyond repair.
Every time I called Oppung’s name, there was no answer.
Only silence.
And from that silence, my grief took form in an unspoken regret.

I regretted not joining the last photo.
I thought I still had time. But in the end, all that remained were fading memories and tears that could never call him back.

I didn’t know how to grieve.
So I ran away from it.
I called out to Oppung while lighting a cigarette.
I cried into a bottle, hoping it would soothe me,
but it only made the grief heavier and blurrier.

(There are many other struggles I’ll share in a different testimony.)

One day, I read an article from IGNITE GKI. It quoted a verse that pierced me—
gently, but deeply:

“Come to Me, all you who are weary and burdened, and I will give you rest.”
— Matthew 11:28 (TB2)

I didn’t know why I cried upon reading it.
But the tears felt like a small door cracking open after being shut for so long.
Maybe… that was the first time I felt called home.
Called to stop running.
Called to cry in an embrace that does not judge.

That moment became a turning point.
I began reading daily devotionals.
I started to pray when my heart felt broken,
instead of running to cigarettes or alcohol.
For the first time, I came to Jesus not just as a name on a church wall,
but as Someone I could offer my tears to.

Then, in 2018, came a second loss.
I was on my way to church, riding public transportation,
when Tulang called me:

"I just want to ask… has Oppung Mami passed away?"

I hadn’t checked the family group chat. I truly had no idea.
I panicked. I cried uncontrollably.
My body collapsed, and I could only sit inside an Alfamart near the hospital in Bandung.
My blood, honestly, screamed:
"Let’s just smoke. Drink."

But I resisted. And it was so hard.
I clenched my fists to fight the overwhelming urge—
not by my own strength,
but because God’s power upheld me through the sorrow.

I wasn’t heroic.
I resigned from work.
I was unemployed for a year, simply to give grief its space.
But maybe… it was in that space that God taught me how to weep with Him.

In this life, we will all eventually encounter goodbyes.
And death.

No one is ever truly ready.
We pray, we prepare, we stay vigilant.
But often, God chooses a time we don’t understand.

As I write this testimony, one verse echoes in my heart:

“My grace is sufficient for you, for My power is made perfect in weakness.”
— 2 Corinthians 12:9 (TB2)

Dear friends,
We don’t always have to be strong.
We don’t need to rush the process of “healing” from loss.
If you—like I once did—turned to cigarettes or alcohol, I won’t judge.
I, too, am a sinner.

It’s okay. Take your time.
But in our brokenness and weaknesses,
let’s slowly learn to believe:
Christ’s power can still cover us.
Maybe not instantly. Maybe with trembling steps. But it’s still real.

I pray you can choose safer paths to hold your tears—
as I chose to resign, just so I could cry and truly process.

May the peace of the Father, the Son, and the Holy Spirit
be with us always, even on the roads we don’t understand.

Personally… I still often struggle to believe that Christ’s power descends for me too.
But I keep learning.
And if you’re learning too—
let’s pray for one another.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Gengsi

--- Tak dapat tangan menggenggam Sebab gengsi Tak dapat merengkuh Sebab gengsi Tak dapat kasih diucap Sebab gengsi Tak dapat mengecup Sebab ...