Rabu, 17 September 2025

Kesaksian: Menemukan Tuhan dalam Lagu Lonely (Testimony: Finding God in the Song Lonely)

Salam dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.

What if you had it all
But nobody to call?
Maybe then you'd know me
'Cause I've had everything
But no one's listening
And that's just lonely…

Setiap kali mendengar lagu Lonely dari Justin Bieber, hatiku seperti ditelanjangi. Ada bagian dari diriku yang tercermin begitu nyata dalam lirik itu—bahkan mungkin lebih parah dari yang dinyanyikan.

Aku sadar, kasih karunia Tuhan begitu melimpah dalam hidupku. Aku masih punya orangtua dan adik yang selalu siap mendengarkan ceritaku. Tapi anehnya, meski ada mereka, kesepian tetap saja menghantui. Ada ruang hampa yang tak mudah diisi.

Tidak Dilihat Apa Adanya

Dalam perjalanan hidupku, sering aku merasa tidak benar-benar terlihat. Keluargaku tidak mengenalku sepenuhnya. Teman-teman hanya tahu sebagian kisahku: bahwa aku pernah menjadi perokok, pemabok, dan mencari cinta di jalan yang salah sampai kehilangan kegadisan.

Tapi mereka tidak tahu sisi lainku: seorang aku yang diam-diam sering menyakiti diri sendiri saat sendirian. Inilah wajah kesepianku yang tak terlihat orang lain.

Hampa, Tapi Tidak Sendiri

Lagu ini membuatku merasa hampa sekaligus terluka. Namun, aku juga menemukan penghiburan: bahwa aku tidak sendirian dalam kesepian. Ada orang lain yang pernah menjerit dengan rasa sepi yang sama.

Kalau aku bisa menulis surat kepada “diriku yang kesepian”, aku ingin bertanya:

“Bagaimana kabarmu hari ini? Apakah kamu sudah terlalu lelah? Apakah lukamu sudah sembuh? Apakah kamu sudah bisa merelakan dia yang pergi meninggalkanmu?”

Bertahan dengan Cara yang Baru

Di masa sepi ini, aku belajar bertahan dengan cara yang lebih sehat: menulis, mendengarkan lagu, dan chatting dengan keluargaku. Aku percaya, pengalaman ini adalah sarana pertobatan.

Waktu kuliah dulu, ketika kesepian datang, aku memilih pelarian yang salah—rokok dan minuman keras. Kini, Tuhan memberi kesempatan kedua: untuk memilih jalan yang lebih baik.

Pesan untuk Kamu yang Membaca

Aku ingin berbagi satu hal: setiap orang punya masa sepinya masing-masing.
Kalau kamu sedang berada di titik itu, percayalah—kamu tidak sendirian dalam perjalanan ini.

💌 Jika kamu juga sedang merasa hampa dan kesepian, jangan biarkan dirimu berjalan sendirian. Carilah seseorang untuk berbicara. Menulislah. Dengarkan lagu yang bisa menenangkanmu. Dan yang terpenting, datanglah pada Tuhan.

Sebab, di tengah kesepian terdalam, Dia tetap melihatmu apa adanya.




In the name of the Father, the Son, and the Holy Spirit.

What if you had it all
But nobody to call?
Maybe then you'd know me
'Cause I've had everything
But no one's listening
And that's just lonely…

Every time I listen to Justin Bieber’s Lonely, my heart feels exposed. There’s a part of me that resonates so deeply with those lyrics—perhaps even worse than what the song describes.

I realize that God’s grace overflows in my life. I still have my parents and my sibling, who are always willing to listen to my stories. Yet strangely, even with them around, loneliness still lingers. There’s an emptiness inside me that isn’t easy to fill.

Not Truly Seen

Throughout my life, I often felt unseen. My family didn’t really know me as I truly was. My friends only knew part of my story: that I used to smoke, drink, and seek love in the wrong places until I lost my purity.

But they never knew the other side of me—the one who often hurt herself in silence when no one was watching. This is the face of my loneliness that remained invisible to others.

Empty, Yet Not Alone

This song leaves me feeling empty and wounded, yet it also brings comfort: I’m not the only one walking through this kind of loneliness. Someone else once cried out with the same pain.

If I could write a letter to my “lonely self,” I would ask:

“How are you today? Are you already too tired? Have your wounds begun to heal? Have you been able to let go of the one who left you?”

Learning to Endure in New Ways

In this season of loneliness, I’ve learned to endure in healthier ways: by writing, listening to music, and chatting with my family. I believe this experience has become a path of repentance.

Back in college, when loneliness came, I chose the wrong escapes—smoking and drinking. But now, God has given me a second chance: to choose what is better.

A Message for You Who Are Reading

I want to share this truth: everyone has their own season of loneliness.
If you’re going through that right now, please believe this—you are not walking alone.

💌 If you are feeling empty and lonely, don’t let yourself carry it all by yourself. Find someone you can talk to. Write it down. Listen to music that soothes your soul. And most importantly, draw near to God.

Because in the deepest loneliness, He still sees you—just as you are.

Berdiri di Tengah Badai: Kesaksian dari Hati yang Sepi (Standing in the Midst of the Storm: A Testimony from a Lonely Heart)

Salam dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.

Ada kalanya hidup terasa seperti badai. Kita tahu harus bertahan, tapi tubuh, hati, dan jiwa seolah sudah lelah. Lagu yang akhir-akhir ini menemani saya berbunyi:

Ku kan berdiri di tengah badai
Dengan kekuatan yang Kau berikan
Sampai kapan pun
Ku kan bertahan karna Yesus selalu menopang

Ku kan bertahan dalam tekanan
Dengan kekuatan yang Kau berikan
Sampai kapanpun tak tergoyahkan
Karna Yesus selalu menopang hidupku

Badai yang Saya Hadapi

“Badai” apa yang paling terasa dalam hidupmu saat ini?
Kalau saya, badai itu bernama kesepian.

Kesepian ini sering menggoda saya untuk pulang lebih cepat dari jadwal Tuhan. Ada hampa, kekosongan, dan senyum yang jarang sekali muncul—padahal dulu saya sering tertawa lepas.

Saya sadar, saya tidak cukup kuat dengan kekuatan saya sendiri. Tapi jujur, kadang saya merasa Tuhan begitu jauh. Saya tahu Kristus masih mendengar doa saya, bahkan menjawabnya, tetapi setelah itu… keheningan kembali menghampiri.

Di titik ini, saya bahkan tidak yakin bisa bertahan. Namun, ketika mengingat keluarga saya—betapa mereka akan sedih jika saya pulang sendirian—itu membuat saya tetap berpijak.

Antara Keyakinan dan Keraguan

Lirik lagu ini seharusnya menguatkan. Tetapi saya tidak menutup-nutupi, sering kali saya masih merasa tidak yakin dengan penyertaan Tuhan. Hati saya sedih sekali.

Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang tetap saya pegang: saya masih mau menyembah-Nya. Sekalipun iman ini rapuh, saya tetap ingin memuji Dia.

Untuk Kamu yang Membaca

Jika ada teman-teman yang saat ini berada di badai yang sama—merasa sepi, merasa Tuhan jauh, merasa goyah—kamu tidak sendiri. Saya juga ada di titik ini.

Mari kita tetap bertahan, meski dengan iman sekecil biji sesawi. Kiranya Kristus segera memulihkan kita.

Amin.
Damai Kristus besertamu.


Call-to-Action (CTA):
Kalau kamu juga pernah atau sedang merasa di tengah badai, tuliskan di kolom komentar apa yang menguatkanmu. Siapa tahu kesaksianmu bisa jadi penghiburan bagi orang lain yang sedang berjuang.










In the name of the Father, the Son, and the Holy Spirit.

There are moments in life that feel like a storm. We know we have to stand strong, but our body, heart, and soul feel exhausted. A song that has been accompanying me lately says:

I will stand in the midst of the storm
With the strength You have given
Forever I will endure
For Jesus always sustains me

I will endure under pressure
With the strength You have given
Forever unshaken
For Jesus always sustains my life

The Storm I Face

What “storm” do you feel in your life right now?
For me, the storm is called loneliness.

This loneliness often tempts me to go home earlier than God has scheduled. I feel empty, hollow, and laughter has become rare—while I used to laugh so freely.

I realize I am not strong enough on my own. Yet honestly, at times I feel God is so distant. I know Christ still listens to my prayers, even answers them, but after that… silence returns.

At this point, I am not even sure I can endure. But when I remember my family—how sad they would be if I went home alone—that gives me reason to keep standing.

Between Faith and Doubt

This song’s lyrics should strengthen me. But I won’t hide it—many times I still feel uncertain about God’s presence. My heart feels so heavy and sad.

Yet even in the midst of it all, there is one thing I hold on to: I still want to worship Him. Even if my faith feels fragile, I still want to praise Him.

To You Who Are Reading

If you, dear friends, are in the same storm—feeling lonely, feeling God is far, feeling shaken—you are not alone. I am right here too.

Let us continue to endure, even with faith as small as a mustard seed. May Christ bring restoration to us soon.

Amen.
The peace of Christ be with you.


Call-to-Action (CTA):
If you’ve ever felt or are currently in the midst of a storm, share in the comments what has strengthened you. Your testimony might become the very encouragement someone else needs.

Minggu, 14 September 2025

Kesaksian dari Bangsal Psikiatri: Di Mana Aku Belajar Bersyukur dan Bersandar pada Tuhan (A Testimony from the Psychiatric Ward: Where I Learned to Be Grateful and Lean on God)

“Bagaimana rasanya dirawat di bangsal psikiatri?”
Mungkin itu pertanyaan yang jarang kita dengar, bahkan tabu untuk ditanyakan. Tapi aku ingin jujur—karena siapa tahu kisah ini bisa menemani seseorang yang sedang berada di titik paling gelap dalam hidupnya.

Salam dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Semoga tulisan ini dapat menemanimu, terutama bagi yang saat ini sedang berjuang dari balik pintu bangsal psikiatri.


Pengalaman Dirawat di Bangsal

Pada tanggal 30 Agustus – 09 September 2025, aku dirawat inap di bangsal psikiatri karena dorongan mengakhiri hidup yang begitu kuat. Aku merasa malu ketika menyadari bahwa aku membutuhkan perawatan ini. Namun, justru dari tempat itulah aku belajar banyak hal.

Setiap pasien membawa ceritanya sendiri. Ada yang sedang berjuang dengan kanker, ada yang kehilangan kedua orangtuanya, ada yang konflik rumah tangga, bahkan ada yang mengalami overdosis. Ada juga seorang ibu hamil yang harus dirawat di sana. Melihat mereka, aku tersadar—mereka menghadapi beban yang jauh lebih berat, tetapi tetap berjuang untuk hidup.


Ketakutan dan Kesunyian

Hal yang paling kutakuti selama dirawat adalah konflik antar pasien. Setiap kali ada yang marah-marah, aku langsung terpicu dengan ingatan KDRT yang dulu kualami di rumah. Itu membuatku semakin sulit merasa aman.

Selain itu, aku tidak bisa dikunjungi, tidak bisa bertemu siapapun, tidak boleh menggunakan ponsel, bahkan tidak ada banyak kegiatan untuk mengalihkan pikiran. Hari-hari terasa begitu jenuh dan panjang.


Titik Syukur Kecil

Namun, di tengah keterbatasan itu, aku justru belajar bersyukur untuk hal-hal kecil.
Aku bersyukur masih punya ponsel, punya sandal, bisa makan dengan garpu, tubuhku masih sehat, dan memiliki orangtua yang selalu mendukungku.

Syukur kecil inilah yang perlahan-lahan menumbuhkan kembali harapan dalam diriku.


Harapan yang Membuatku Bertahan

Selama perawatan, aku mulai menemukan kembali stabilitas. Aku sadar masih punya mimpi yang ingin kucapai—aku ingin punya rumah dengan halaman luas, tempat aku bisa memelihara burung kakatua, macaw, cockatiel, ayam pheasant, merak, dan juga kolam koi.

Selain itu, keluargaku adalah alasan terbesarku bertahan. Aku tidak bisa membayangkan harus berjalan tanpa mereka.


Tuhan Mengisi Jiwaku yang Kering

Di bangsal itu, aku sempat membaca buku Kuasa Doa Seorang Wanita. Dari buku itu aku disadarkan bahwa jiwaku kering, dan hanya Yesus yang bisa memulihkannya.

Aku juga sadar bahwa semangatku sudah pudar. Dan semangat yang pudar hanya bisa dipulihkan dengan memuji Tuhan. Aku sering lupa bersuka cita, padahal sukacita sejati hanya datang ketika aku menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya.


Penutup: Harapan dari Bangsal

Aku sungguh berharap pengalaman ini menjadi yang pertama sekaligus terakhir bagiku untuk dirawat inap di bangsal psikiatri. Tapi jika pun ada yang harus melalui jalan ini lagi, aku ingin mengatakan:

Kamu tidak sendirian. Tuhan tidak pernah meninggalkanmu. Ada harapan, ada masa depan, bahkan dari balik jeruji bangsal yang tampak menyesakkan.


Call to Action

Kalau kamu sedang membaca ini dan merasa hidupmu berat, aku ingin mengajakmu:

  • Beranilah mencari pertolongan, itu bukan aib.

  • Hargailah hal-hal kecil di sekitarmu—sebab syukur bisa menjadi jembatan menuju harapan.

  • Dan yang paling penting, serahkan dirimu pada Tuhan, karena hanya Dia sumber sukacita sejati.

🙏 Semoga kisah ini bisa menemanimu, menguatkanmu, atau menjadi pengingat bahwa hidup, betapapun beratnya, tetap layak diperjuangkan.




“What does it feel like to be admitted to a psychiatric ward?”
It’s a question rarely asked, maybe even considered taboo. But I want to share honestly—because perhaps this story can accompany someone who is walking through the darkest season of their life.

In the name of the Father, the Son, and the Holy Spirit.
May this writing be a companion to you, especially if you are currently struggling behind the doors of a psychiatric ward.


My Days in the Ward

From August 30 – September 9, 2025, I was admitted to the psychiatric ward due to strong suicidal urges. I felt ashamed when I realized I needed this kind of treatment. Yet, it was there that I learned many things.

Every patient had their own story. Some were battling cancer. Some had lost both parents. Others were facing marital conflict or had overdosed in an attempt to end their lives. There was even a pregnant woman being treated in the ward. Seeing them, I realized—they were carrying burdens far heavier than mine, yet they kept fighting to live.


Fear and Loneliness

My biggest fear during treatment was conflicts among patients. Every time someone got angry, it triggered me deeply, reminding me of the domestic violence I had witnessed in my family when I was younger. It was hard to feel safe.

On top of that, I wasn’t allowed to have visitors, couldn’t meet anyone, couldn’t use my phone, and had very limited activities to pass the time. The days felt long and suffocating.


The Gift of Small Gratitudes

And yet, in the middle of those restrictions, I learned to be grateful for the smallest things.
I was grateful to still have a phone.
Grateful for a pair of sandals.
Grateful for a fork to eat with.
Grateful that my body was still healthy.
Grateful for parents who remained supportive and responsive to my needs.

These small gratitudes slowly rekindled hope within me.


The Dreams that Kept Me Alive

During treatment, I began to find stability again. I realized I still had dreams to pursue—I longed to own a house with a wide yard, where I could care for parrots, macaws, cockatiels, pheasants, peacocks, and a koi pond.

Above all, my family was my greatest reason to stay alive. I couldn’t imagine walking this road without them.


When God Restored My Dry Soul

In the ward, I came across a book titled The Power of a Praying Woman. Through it, I realized that my soul was dry, and only Jesus could restore it.

I also realized that my spirit had faded. And a faded spirit can only be renewed through praising God. I had forgotten how to rejoice, when in fact, true joy only comes when I surrender myself fully to Him.


Closing: A Hope from the Ward

I deeply hope that this will be my first and last experience of being admitted to a psychiatric ward. But even if someone else has to walk this path, I want to say:

You are not alone. God has never left you. There is hope, there is a future—even from behind the locked doors of a ward that feels suffocating.


Call to Action

If you are reading this and life feels unbearably heavy, I want to invite you to:

  • Be brave enough to seek help—it is not shameful.

  • Cherish the small things around you—gratitude can be a bridge to hope.

  • And most importantly, surrender yourself to God, for He alone is the source of true joy.

🙏 May this story be a companion to you, a source of strength, or a reminder that life, no matter how heavy it feels, is still worth fighting for.

Kesaksian: Menemukan Tuhan dalam Lagu Lonely (Testimony: Finding God in the Song Lonely)

Salam dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. What if you had it all But nobody to call? Maybe then you'd know me 'Cause I'v...