Aku senang berlama-lama memandang alam
Sebab menunjukkan kagumku pada ciptaanNya
Terlebih saat memandang bola matamu, Tuan
Nona Nagisa,
Bandung, 09 Juni 2018
Lembaran Nagisa adalah tempatku menuliskan serpihan hidup—cerita, sajak, luka, dan sukacita. Di tepian hari, aku menepi dan menata kembali suara hatiku. Karena setiap kata adalah langkah menuju pulih.
Aku senang berlama-lama memandang alam
Sebab menunjukkan kagumku pada ciptaanNya
Terlebih saat memandang bola matamu, Tuan
Nona Nagisa,
Bandung, 09 Juni 2018
Salam dalam nama Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus.
Semoga tulisan ini dapat menyapamu di tengah kebingungan rohani yang mungkin sedang kamu alami.
Saya percaya setiap orang pasti punya teman atau sahabat—orang yang dipercayai, disayangi, dan seringkali kita ikuti saat mereka mengajak pergi ke suatu tempat. Tapi, sering kali keputusan kita untuk ikut bergantung pada banyak hal: kondisi tubuh, suasana hati, isi dompet, atau jadwal yang padat.
Sekarang saya ingin bertanya:
Bagaimana jika yang mengajak itu adalah Tuhan sendiri?
Apa jawaban kita?
Saya pernah mengalami momen saat membaca Alkitab, dan hati saya bergetar ketika membaca frasa:
“Ikutlah Aku.”
Respon spontan saya waktu itu:
“Aku? Tapi aku bukan rasul, bukan pendeta, bukan siapa-siapa… aku hanya Nona.”
Saya tidak serta-merta berkata “aku siap.” Karena sejujurnya, saya takut menderita. Dan di balik rasa takut itu, saya menyadari: saya belum sepenuhnya percaya.
Saya percaya bahwa Allah menciptakan langit dan bumi, bahwa Yesus mati, bangkit, dan naik ke Surga. Tapi, mengapa saya masih belum bisa percaya penuh kepada-Nya?
Karena saya belum punya pengalaman berelasi pribadi dengan Allah.
Dan mengapa saya belum punya pengalaman itu? Karena saya membawa banyak luka—dan dari luka itu, lahirlah dosa. (Kalau kamu membaca keseluruhan kesaksian saya, kamu akan tahu luka dan dosa apa yang saya maksud.)
Kalau iya, mungkin tulisan ini memang untukmu.
Secara sederhana, iman itu lahir dari tiga hal:
Tanggapan manusia terhadap panggilan Allah.
Kepercayaan yang teguh pada apa yang Dia firmankan.
Penyerahan diri yang utuh kepada-Nya.
Roh Kuduslah yang memampukan kita menanggapi panggilan itu. Tapi seringkali, kerapuhan kita lebih dulu menyuarakan ketakutan. Meski begitu, Roh Kudus tetap menopang agar kita bisa berdiri kembali.
Apakah iman berarti mendapatkan terobosan finansial?
Apakah iman diukur dari seberapa cepat doa dijawab?
Alkitab menunjukkan hal yang berbeda.
Iman sejati tampak dari ketahanan di tengah penderitaan dan pencobaan.
(Bdk. Roma 5:1–5; Yakobus 1:2–4; 1 Petrus 1:6–7)
…tentang teman-teman yang sedang mengalami depresi, tapi justru diberi label “kurang iman.”
Tentang mereka yang sudah memberi perpuluhan, tapi tak kunjung mengalami terobosan finansial—dan malah disalahkan karena dianggap kurang percaya.
Padahal, mereka sudah berdoa.
Sudah setia.
Sudah berharap.
Tapi mengapa hidup mereka tetap terasa gelap dan kosong?
Mungkin karena mereka tidak pernah diberi ruang untuk diam dan mendengar Allah berbicara.
“Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus.”
— Roma 10:17
Kita bisa rajin berdoa, tetapi jika tidak memberi ruang bagi Tuhan untuk berbicara, maka tidak ada komunikasi sejati di sana.
Terobosan finansial bukan tolok ukur iman.
Abraham tidak disebut benar karena hartanya, tapi karena ia bersedia mempersembahkan Ishak—satu-satunya yang dia miliki.
Saya pribadi?
Kalau Tuhan menawarkan kekayaan seperti Abraham, saya pasti mau. Tapi saya tahu, semuanya bergantung pada kemurahan hati Allah—bukan pada seberapa besar iman saya.
Perempuan yang mengalami pendarahan disembuhkan karena imannya
(Bdk. Markus 5:25–34; Lukas 8:43–48).
Tapi ada juga anak yang dibangkitkan meski orang tuanya hampir tak sanggup percaya
(Bdk. Markus 9:17–27 — ayah anak kerasukan berkata, “Aku percaya. Tolonglah ketidakpercayaanku!”).
Jadi, bukan iman kita yang menentukan segalanya,
tapi hati Allah yang penuh belas kasih.
Saya ingin berkata:
Imanmu tidak mati hanya karena hidupmu belum berubah.
Imanmu tetap hidup karena kamu masih memilih bertahan.
Mungkin kamu belum bisa mengangkat tangan tinggi-tinggi saat ibadah, tapi Tuhan melihatmu yang masih melipat tangan dalam doa diam-diam.
Dan itu cukup.
Kiranya damai Kristus memberkatimu,
dan menguatkan imanmu yang masih belajar bertumbuh hari demi hari.
Amin.
Dengan penuh hormat, Yessi, berikut terjemahan lengkapnya dalam bahasa Inggris—dijaga agar tetap setia pada nuansa reflektif dan spiritual dari versi aslinya:
For You Who Have Ever Been Told "Your Faith Isn't Enough"
In the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit.
May this writing find you in the midst of your spiritual confusion and offer a quiet reassurance.
I believe everyone has a friend or companion—someone they trust, love, and often follow when invited to go somewhere. But let’s be honest, whether or not we go usually depends on many things: how we’re feeling physically, our mood, our finances, or how busy our schedule is.
Now I want to ask you:
What if the one who invites you is God Himself?
What would your answer be?
There was a moment when I was reading the Bible, and my heart trembled at these words:
“Follow Me.”
My immediate response was:
“Me? But I’m not a disciple, not a pastor, not anyone special… I’m just Nona.”
I couldn’t bring myself to say, “I’m ready.” Because to be honest, I’m afraid of suffering.
And behind that fear, I realized: I don’t fully trust.
I believe that God created the heavens and the earth, that Jesus died, rose again, and ascended into heaven.
But why can’t I trust Him completely?
Because I’ve never truly experienced a personal relationship with God.
And why haven’t I? Because I carry many wounds—and from those wounds, sin has grown.
(If you read my full testimony, you’ll understand what kind of wounds and sins I’m referring to.)
If you have, then perhaps this writing is for you.
In simple terms, faith is born of three things:
Our response to God's call.
A firm trust in what He has revealed.
A full surrender of ourselves to Him.
It is the Holy Spirit who enables us to respond to God's invitation.
But more often than not, our frailty speaks louder than faith.
Even so, the Holy Spirit continues to sustain us—so we can stand again.
Is faith about receiving financial breakthroughs?
Is it measured by how quickly our prayers are answered?
Scripture tells a different story.
True faith is revealed in perseverance through suffering and trials.
(cf. Romans 5:1–5; James 1:2–4; 1 Peter 1:6–7)
…of friends struggling with depression, only to be told they “lack faith.”
Of people who give their tithe faithfully, yet still experience no financial breakthrough—and are blamed for not believing enough.
But they have prayed.
They have been faithful.
They have hoped.
So why does life still feel dark and empty?
Maybe because they were never given space to be silent—
to simply listen for God’s voice.
“So faith comes from hearing, and hearing through the word of Christ.”
— Romans 10:17
You can be someone who prays diligently, but if you never allow space for God to speak—
then there’s no true relationship.
Financial breakthrough is not a measure of faith.
Abraham was not counted righteous because of his wealth,
but because he was willing to offer Isaac—his one and only son.
As for me?
If God offered me riches like Abraham, I wouldn’t say no.
But I know: everything depends on God’s mercy, not on how “strong” my faith is.
The woman who had been bleeding was healed because of her faith
(cf. Mark 5:25–34; Luke 8:43–48).
But there was also a child who was raised from the dead, even though his father could barely believe
(cf. Mark 9:17–27 — the father said, “I believe; help my unbelief!”)
So in the end, it is not our faith that determines everything,
but God’s heart, full of mercy and compassion.
Let me say this:
Your faith is not dead just because your life hasn’t changed.
Your faith is still alive—because you choose to hold on.
Maybe you can’t lift your hands high during worship right now,
but God sees you folding your hands in silent prayer.
And that is enough.
May the peace of Christ bless you,
and strengthen your faith—one day at a time.
Amen.
Malam berganti malam
Rindu ini semakin mekar, tuan
Semerbak pada bait-bait puisi ini
Yang tak sedikitpun berguguran semenjak kepergianmu
Tiada yang terbiasa, tuan
Kala rindu selaba menggelora
Bergemuruh pada baris-baris puisi ini
Yang menantimu kembali berlayar
Setelah berlabuh dari dermaga ke dermaga
Bersinarlah Tuan
Diatas kerinduanku ini
Berlayarlah Tuan
Diatas kerinduanku ini
Hiduplah Tuan
Dalam Perjalananmu
Pulanglah tak hanya nama
Nona Nagisa,
Cimahi, 22 Juni 2019
Salam dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus
Semoga tulisan ini datang kepadamu untuk menyelimutimu dan memberikan ketenangan.
Gereja adalah tempat berkumpulnya orang-orang yang dipanggil keluar dari kegelapan menuju terang-Nya yang ajaib (bdk. 1 Petrus 2:9). Itulah sebabnya, sering kali kita merasa aman datang ke Gereja, meskipun kita penuh dosa. Karena kita tahu—tidak ada seorang pun yang benar di hadapan Allah karena kekuatan dirinya sendiri. Kita percaya bahwa Tuhan yang kita kenal dalam diri Kristus adalah Tuhan yang penuh belas kasih dan senantiasa mengampuni.
Namun, pada suatu masa dalam hidup saya, saya sempat bertanya dalam hati:
"Bagaimana jika bukan hanya Tuhan yang tahu dosaku, tetapi juga seluruh Tubuh Mistik-Nya—yaitu Gereja?"
Tahun 2024–2025 adalah masa ketika saya merasa telanjang secara rohani. Saya merasa bahwa dosa-dosa saya—bahkan yang paling kecil sekalipun—terlihat dan diketahui, bukan hanya oleh Tuhan, tetapi oleh Gereja sebagai Tubuh Mistik-Nya. Saat itu, saya merasa malu. Takut. Seolah-olah seluruh kebusukan saya dipaparkan di hadapan hadirat-Nya dan dilihat oleh semua yang berada di dalam Gereja.
Saya mulai takut datang ke Gereja. Takut bahwa khotbah yang dibacakan akan secara spesifik membahas dosa-dosa saya. Takut bahwa saya akan dibongkar di depan banyak orang. Padahal, nyatanya, tidak pernah ada satu pun orang yang datang secara langsung dan membahas kesalahan saya. Tapi perasaan tertelanjangi itu begitu kuat—bahkan ketika hanya mendengar kotbah umum di mimbar atau FYP TikTok saya. Saya merasa dikejar oleh suara Tuhan, tetapi dalam bentuk yang tidak lagi saya kenali sebagai kasih.
Kini, saya menyadari bahwa sebagian besar ketakutan itu dipengaruhi oleh kondisi depresi berat yang saya alami. Ketika pikiran terganggu, rasa bersalah bisa membesar seperti monster, dan kasih Tuhan bisa tampak seperti tudingan. Itu bukan suara Tuhan—itu luka yang bicara atas nama-Nya.
Saya percaya mungkin ada beberapa di antara teman-teman yang pernah merasa seperti saya: merasa telanjang, malu, dan takut karena dosa-dosa atau kesalahannya pernah viral, diketahui banyak orang, atau terasa sangat besar untuk dimaafkan. Saya ingin berkata: saya merasakan ketakutanmu. Saya merasakan malumu. Saya merasakan kewalahanmu. Apa yang kamu rasakan itu valid. Dan kamu tidak sendiri.
Adam pun pernah merasa seperti itu:
“Aku mendengar bahwa Engkau ada dalam taman ini, dan aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi.”
— Kejadian 3:10
Namun, meskipun Adam dan Hawa berdosa, Allah tidak langsung membinasakan mereka. Ia mencari mereka. Ia memanggil mereka:
"Di manakah engkau?"
Tuhan tidak datang untuk mempermalukan. Ia datang untuk memulihkan. Mungkin saja, saat ini, Kristus sedang mencarimu
Aku ingin mengundangmu hari ini, jika kamu sedang bersembunyi seperti Adam dan Hawa—datanglah kembali. Akuilah luka dan kesalahanmu di hadapan-Nya. Tapi jangan saling menyalahkan. Tuhan kita adalah Tuhan yang setia dan adil untuk mengampuni.“Umat-Ku, di manakah engkau?”
Ia tetap berjalan di taman, mencari kita—bukan untuk menghukum, tetapi untuk memeluk dan memulihkan.
Salam dalam kasih Kristus.
In the name of the Father, and of the Son, and of the Holy Spirit.
May this writing reach you to cover you with peace and bring you comfort.
The Church is a gathering of those who are called out of darkness into His marvelous light (cf. 1 Peter 2:9). That is why we often feel safe coming to church, even though we are sinners. We know that no one is righteous before God by their own strength. We believe that the Lord we know in Christ is full of mercy and always ready to forgive.
However, at one point in my life, I found myself asking:
"What if it's not only God who knows my sins, but also His Mystical Body—the Church?"
The years 2024–2025 were a time when I felt spiritually naked. I felt that even my smallest sins were seen and known, not only by God, but also by the Church as His Mystical Body. At that time, I felt ashamed. I was afraid. It felt as though all the filth within me had been laid bare before His presence and witnessed by everyone in the Church.
I became afraid of going to church. I was afraid that the sermon would speak directly and specifically about my sins. I feared being exposed in front of others. But in truth, no one ever came to me and confronted me about any wrongdoing. Still, the feeling of being uncovered was so strong—even when listening to general sermons or simply scrolling through TikTok, hearing preaching on my feed. I felt pursued by the voice of God, but in a form I no longer recognized as love.
Now, I realize that much of that fear was intensified by the severe depression I was suffering from. When the mind is wounded, guilt can grow into a monstrous shape, and the love of God can start to feel like accusation. But that was not the voice of God—it was the voice of my own wounds speaking in His name.
I believe there are some of you who may have felt the same: exposed, ashamed, and afraid because your sins or mistakes became known publicly, or simply felt too big to be forgiven. I want to say: I feel your fear. I feel your shame. I feel your sense of overwhelm. Your feelings are valid. And you are not alone.
Adam once felt the same:
“I heard You in the garden, and I was afraid because I was naked; so I hid.”
— Genesis 3:10
Yet even though Adam and Eve sinned, God did not destroy them. He searched for them. He called out to them:
“Where are you?”
God did not come to humiliate. He came to restore.
Perhaps today, Christ is searching for you, too:
“My people, where are you?”
I invite you, if you are hiding today like Adam and Eve—come back. Acknowledge your wounds and your wrongs before Him. But do not point fingers or pass blame. Our God is faithful and just to forgive.
He still walks in the garden, searching for us—not to punish, but to embrace and to heal.
With love in Christ.
Halo, teman-teman.
Damai sejahtera bagi kamu yang sedang bergumul tentang jodoh.
"Tuhan, jadikanlah dia jodohku... Hanya dia yang membuat aku terpukau..."
Penggalan lagu Terpukau yang dinyanyikan oleh Astrid Sartiasari pernah membuatku tertawa kecil. Bukan karena lagunya lucu, tapi karena aku merasa geli—mungkin juga sedikit julid—melihat betapa seseorang bisa sedalam itu berharap dijodohkan dengan satu orang tertentu.
Namun, semua berubah ketika aku sendiri jatuh cinta. Saat berpacaran, ada rasa nyaman karena ada teman menonton, teman makan, teman berbagi cerita. Dan ketika hubungan itu berakhir, hatiku terasa kosong. Dalam fase bargaining dari kedukaan, aku pun berdoa, "Tuhan, jadikanlah dia jodohku." Kini, aku bersyukur karena kami berpisah—karena ternyata cinta itu memang sudah tak lagi ada.
Kalau direnungkan, banyak dari kita meminta jodoh kepada Tuhan karena berbagai alasan. Ada yang melakukannya karena kesepian. Ada yang merasa tertekan oleh tuntutan sosial. Ada juga yang seperti aku: meminta mantan yang telah berpisah dengan kita dijadikan jodoh karena tidak tahan dalam fase kedukaan.
Tapi... bagaimana kalau Tuhan mengabulkan permohonan kita tentang jodoh—bukan dengan orang yang kita doakan, melainkan seseorang yang sama sekali tak kita duga? Seseorang yang kita temui di persimpangan hidup?
Apakah kita siap menyambut kehadirannya?
Ataukah justru kita akan melukainya karena kita masih membawa luka dari masa lalu?
Sudahkah kita merapikan ruang hati kita agar ketika jodoh itu datang, kita bisa menerimanya bukan sebagai penambal kekosongan, tetapi sebagai rekan seperjalanan?
Kiranya tulisan sederhana ini bisa menjadi pengingat dan pemantik perenungan—bahwa sebelum berjodoh dengan seseorang, barangkali kita perlu lebih dulu berjodoh dengan kedewasaan, keutuhan, dan damai dalam diri sendiri.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Hello, friends.
Peace be with you—especially those who are wrestling with questions about love and life partners.
"Lord, please let them be the one... They're the only one who takes my breath away..."
This line from the song Terpukau by Astrid Sartiasari used to make me chuckle. Not because the song was silly, but because I found it amusing—maybe even a little petty—how someone could so desperately want a specific person to be their destined partner.
But that all changed when I fell in love.
When I was in a relationship, I felt comforted. I had someone to watch movies with, to eat with, to share moments with. And when that relationship ended, an emptiness settled in my heart. In the bargaining stage of grief, I found myself praying, “Lord, please let my ex be the one.” Now, looking back, I’m grateful for the breakup—because I’ve come to see that the love between us had already faded.
If we take a step back and reflect, many of us ask God for a life partner for different reasons. Some out of loneliness. Some because of societal pressure. And some, like me, out of the desperation that comes with heartbreak—hoping to turn a loss into something lasting.
But what if God answers our prayer for a life partner—not with the person we had in mind, but with someone we meet at a completely unexpected crossroad?
Will we be ready to welcome them?
Or will we end up hurting them because we’re still carrying the wounds of the past?
Have we made space in our hearts so that when that person arrives, we’re able to receive them not as a patch for our emptiness, but as a fellow traveler on the journey?
May this simple reflection be a gentle reminder—that before we are truly ready to be with someone else, perhaps we must first be at peace with ourselves: whole, grounded, and ready to love not out of need, but from a place of abundance.
Salam dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus,
Belakangan ini, aku membaca tentang kasus kekerasan yang terjadi di balik panggung sebuah pertunjukan yang selama ini dikenal sebagai hiburan keluarga. Di balik sorotan lampu dan tepuk tangan penonton, ternyata tersembunyi kisah-kisah menyakitkan—tentang kekerasan fisik, tekanan mental, dan pelanggaran terhadap martabat manusia.
Yang membuatku terdiam adalah kontras mencolok antara citra luar dan kenyataan yang tersembunyi.
Institusi yang terlihat “berprestasi” dan menjanjikan masa depan gemilang justru menyisakan trauma mendalam. Anak-anak dipuji karena penampilannya, tapi di balik layar mereka disetrum, dikurung, bahkan dirantai. Semua ini terjadi dalam sistem yang tampak rapi dan “baik.”
Kita hidup di zaman ketika penampilan bisa dipoles sehalus mungkin.
Ketika keberhasilan bisa dikemas layaknya kebahagiaan.
Ketika kekuasaan bisa tersembunyi di balik senyum dan panggung yang memukau.
Namun kebenaran tak selalu hadir di depan kamera.
Kadang, ia hanya berbisik dari balik pintu kamar yang gelap, dari air mata yang tak terlihat, dari jeritan yang diredam oleh sistem.
Yesus sendiri mengecam para ahli Taurat dan orang Farisi:
“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik! Sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya tampak bersih, tetapi di dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Demikian juga kamu, di luar tampak benar di mata orang, tetapi di dalam penuh kemunafikan dan kedurjanaan.”
— Matius 23:27-28 (TB1)
Tulisan ini bukan untuk menuding siapa pun, melainkan mengajak kita bercermin:
Apakah aku rajin berdoa, tapi lupa memperlakukan sesama dengan kasih?
Apakah aku bicara tentang pengampunan, tapi diam-diam menekan orang untuk tunduk padaku?
Apakah aku aktif melayani, tapi menjadikan pelayananku sebagai alat kontrol?
Apakah aku tampak saleh, tapi sebenarnya menindas mereka yang lemah dan tak bersuara?
Jangan-jangan, tanpa sadar, kita sedang menjadikan kerohanian sebagai topeng bagi ego dan luka yang belum sembuh.
Aku menulis ini sebagai pengingat:
Bahwa kerohanian bukan untuk memoles citra, melainkan untuk membentuk hati.
Bahwa kasih bukan soal ritual, tapi relasi yang memerdekakan.
Dan bahwa Tuhan tidak mencari yang sempurna, melainkan yang bersedia menanggalkan topeng dan berjalan dalam terang.
Jika kamu merasa tertuduh oleh tulisan ini, ketahuilah: itu bukan niatku.
Aku pun masih belajar.
Tapi jika kamu merasa tergugah—barangkali ini adalah bisikan Roh Kudus agar kita membuka hati, dan membiarkan kasih sejati bekerja, mulai dari rumah.
Salam damai Kristus,
Nona Nagisa
In the name of the Father, the Son, and the Holy Spirit,
Recently, I came across a story about abuse behind a public performance once celebrated as family entertainment.
Beneath the stage lights and the applause, there lay stories of pain—physical abuse, mental torment, and violations of human dignity.
What struck me deeply was the jarring contrast between the polished image and the hidden truth.
An institution praised for its “achievements” and promises of a bright future turned out to be a place of trauma.
Children were applauded on stage, but behind the scenes, they were shocked, chained, and confined—all under a system that appeared disciplined and “good.”
We live in an age where appearances can be expertly crafted.
Where success can be packaged as joy.
Where power can be cloaked in charm and applause.
But truth does not always shine under the spotlight.
Sometimes it whispers from the corners of a dim room, from unseen tears, from silenced cries drowned out by a system too strong to challenge.
Jesus Himself rebuked the Pharisees and teachers of the law:
“Woe to you, teachers of the law and Pharisees, you hypocrites! You are like whitewashed tombs, which look beautiful on the outside but on the inside are full of the bones of the dead and everything unclean. In the same way, on the outside you appear to people as righteous but on the inside you are full of hypocrisy and wickedness.”
— Matthew 23:27–28 (NIV)
This reflection is not to point fingers—but to invite introspection:
Do I pray regularly but fail to treat others with love?
Do I speak of forgiveness but secretly demand control?
Do I serve actively yet use my ministry to dominate others?
Do I appear devout, yet oppress the weak and voiceless?
Perhaps, unknowingly, we’ve allowed spirituality to become a mask—hiding egos and unhealed wounds.
This is a reminder that true faith is not about polishing an image, but about shaping a heart.
That love is not found in rituals, but in relationships that liberate.
And that God is not looking for perfection, but for those willing to remove their masks and walk in His light.
If you feel accused by this reflection, know that was never my intention.
I’m learning, too.
But if you feel stirred—perhaps it’s the Holy Spirit inviting us to open our hearts, and let authentic love begin again… starting at home.
Peace of Christ,
Nona Nagisa
*This piece was co-written with ChatGPT.
Halo,
Aku bukan penulis terkenal. Aku bukan influencer rohani. Aku hanya seseorang yang pernah terluka—dan sedang belajar mengenal kasih Tuhan dari dalam luka itu sendiri.
Dulu, aku melayani karena Oppungku seorang sintua. Kupikir, melayani itu soal mengikuti jejak keluarga. Tapi semakin aku bertumbuh dan berhadapan dengan hidup yang tidak mudah—pelecehan, kekerasan, kegagalan cinta, kehilangan harapan—aku mulai bertanya:
“Tuhan, apakah semua ini bisa menjadi bagian dari pelayanan?”
Aku tahu Tuhan menyayangiku karena beberapa doa terkabul. Tapi aku belum mengerti bagaimana salib dan luka-Nya adalah bentuk kasih bagi diriku yang penuh luka juga. Maka aku mulai bersaksi. Bukan untuk menjadi sorotan. Tapi agar aku sendiri pun bisa mengerti: mengapa luka ini tidak sia-sia.
Kesaksianku kutulis di blog ini. Sunyi. Sepi. Tapi jujur. Aku tahu, aku tidak sendirian. Karena itu, aku ingin menepati panggilan yang suatu hari membuat hatiku bergetar saat membaca firman:
“Ikutlah Aku.”
“Kalau engkau sudah insaf, kuatkanlah saudara-saudaramu.” (Lukas 22:32)
Aku sendiri belum tahu apakah aku sudah benar-benar “insaf.” Tapi jika menulis dan berbagi bisa menjadi bagian dari pemulihan—bagi diriku sendiri maupun orang lain—maka aku akan tetap menulis. Meskipun hanya satu orang yang membaca. Karena bisa jadi, satu orang itu sedang mencari alasan untuk bertahan.
Terima kasih sudah singgah di sini.
Semoga ada kekuatan dan pengharapan yang mengalir, di antara luka dan kata.
Salam hangat,
Nagisa
Hello,
I'm not a famous writer. I'm not a spiritual influencer. I'm just someone who has been wounded—and is learning to understand God's love through those very wounds.
I used to serve because my grandfather was a church elder. I thought serving meant following in my family’s footsteps. But as I grew older and faced the harsher parts of life—abuse, violence, heartbreak, and lost hope—I started to ask:
"Lord, can this pain somehow be part of ministry?"
I know God loves me—some of my prayers have been answered. But I still struggle to understand how the cross, and His wounds, could be a form of love for someone as broken as me.
That’s why I started sharing my testimony. Not to draw attention, but to help myself understand: why this pain might not be in vain.
I write my testimonies here. Quietly. Anonymously. But honestly. I believe I’m not alone. That’s why I want to respond to a calling—one that once made my heart tremble when I read:
“Follow Me.”
“When you have turned back, strengthen your brothers.” (Luke 22:32)
I don’t even know if I’ve truly "turned back." But if writing and sharing can be a part of healing—for myself or even just one person—then I will keep writing. Even if only one person reads it. Because maybe, that one person is searching for a reason to keep going.
Thank you for visiting.
I hope these words carry a bit of strength and hope, in the spaces between wounds and healing.
Warmly,
Nagisa
(Bahasa Indonesia):
Seseorang bertanya, “Di mana letak pengampunan Tuhan kepada Adam? Bukankah kesalahan bapa dibalas sampai keturunan ketiga dan keempat? Bukankah konsep dosa asal (original sin) itu seperti menunjukkan bahwa Allah menyimpan dendam terhadap manusia? Di mana kasih dan pengampunan-Nya?”
Pertanyaan ini menusuk. Tapi aku menjawab seperti ini:
Allah mengampuni Adam.
Buktinya? Adam tidak langsung mati setelah ia berdosa. Ia masih hidup, meskipun tidak ada catatan bahwa Adam secara eksplisit memohon ampun. Yang dikutuk adalah tanah, bukan manusia itu sendiri (Kejadian 3:17). Adam dan Hawa memang dihukum dan diusir dari Taman Eden, tapi mereka tetap diberi kehidupan.
Menariknya, pengampunan Allah tidak berhenti di sana.
Allah sendiri menjadi manusia melalui Yesus Kristus dan menanggung hukuman yang Dia tetapkan sendiri. Dia yang mengucapkan penghukuman atas dosa, kini menjadi pribadi yang menanggung kutuk itu—bukan karena Ia berubah, tapi karena kasih-Nya tidak berubah.
Lebih dari itu, Tuhan pernah berfirman:
“Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya, dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya.”
— Yehezkiel 18:20
Ini membuktikan bahwa Allah bukan Allah yang menyimpan dendam turun-temurun, melainkan Allah yang adil. Maka ketika Paulus menjelaskan bahwa dosa datang melalui satu orang (Adam), dan keselamatan datang melalui satu orang (Kristus), itu bukan untuk menunjukkan bahwa Allah menyimpan luka masa lalu, tapi untuk menunjukkan rancangan pemulihan yang utuh:
“Sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang semua orang telah menjadi orang berdosa, demikian pula oleh ketaatan satu orang semua orang menjadi orang benar.”
— Roma 5:19
Allah memang tidak pernah berkata langsung tentang “dosa asal” (original sin).
Itu adalah refleksi teologis yang disampaikan Paulus—bukan untuk mengutuk manusia, tapi untuk menunjukkan bahwa tidak ada dosa yang terlalu dalam hingga tidak bisa dijangkau oleh kasih Kristus.
🕊️ English Version:
Someone once asked, “Where is God’s forgiveness for Adam? Isn’t the sin of the father visited upon the third and fourth generation? Doesn’t the idea of original sin make it seem like God holds a grudge against humanity? Where is His forgiveness and love?”
That question struck me. But here’s what I said:
God did forgive Adam.
The proof? Adam didn’t die immediately after sinning. He continued to live, even though there’s no record of him explicitly asking for forgiveness. What was cursed was the ground, not Adam himself (Genesis 3:17). Yes, Adam and Eve were punished and expelled from Eden, but they were still allowed to live.
More interestingly, God's forgiveness didn’t stop there.
God Himself became human in Jesus Christ, and bore the punishment He had declared.
The very Judge became the Sacrifice—not because He changed, but because His love remained constant.
Moreover, God once said:
"The son shall not bear the guilt of the father, nor the father bear the guilt of the son."
— Ezekiel 18:20
This shows that God is not a God who holds generational grudges, but a God of justice. So when Paul explains that sin came through one man (Adam) and salvation through another (Christ), it’s not to show resentment—but to declare a greater redemptive plan:
"Just as through the disobedience of the one man the many were made sinners, so also through the obedience of the one man the many will be made righteous."
— Romans 5:19
God never directly said anything about “original sin.”
It’s a theological reflection voiced by Paul—not to condemn, but to reveal that no sin is too deep for the reach of Christ’s love.
*This content was prepared by ChatGPT.
Salam dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Teman-teman yang terkasih,
Semoga tulisan ini menemukan kalian dalam damai dan pengharapan.
Pernahkah kalian mendoakan seseorang dalam kemarahan yang membuncah?
Pernahkah dari mulut yang biasa mengucap berkat, tiba-tiba keluar kutuk?
Ngaku aja, teman-teman sesama pendosa—aku pun pernah. Aku pernah begitu tersakiti, sampai akhirnya lidahku, yang tadinya memohon keselamatan bagi seseorang, malah mengutuki dia. Aku menyesal.
Tapi sebenarnya... bolehkah kita mendoakan kehancuran orang?
Secara teologis, tentu tidak. Yakobus 3:10 berkata:
“Dari mulut yang satu keluar berkat dan kutuk. Hal ini, saudara-saudaraku, tidaklah patut demikian terjadi.”
Demikian juga dalam Roma 12:14, Paulus menasihati:
"Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!"
Aku juga paham ketidakmungkinan memberkati jika kita terluka karena teraniaya. Oleh sebab itu, Rasul Paulus memberikan pengingat bahwa berilah ruang bagi Allah untuk membalas.
“Saudara-saudaraku yang terkasih, janganlah kamu sendiri menuntut pembalasan, tetapi berilah tempat kepada murka Allah, sebab ada tertulis: ‘Pembalasan itu adalah hak-Ku. Akulah yang akan menuntut pembalasan,’ firman Tuhan.”
(mengutip Ulangan 32:35)
Ayat ini sering disalahpahami: seolah-olah, selama kita tidak membalas, kita bisa diam-diam berharap Tuhan akan membalasnya untuk kita. Tapi bukan begitu maksudnya.
![]() |
Sebastian Latorre on Unsplash |
Tuhan bukan alat pembalasan pribadi. Apa yang kita anggap layak dihukum, belum tentu sama dengan keadilan dalam pandangan Tuhan.
Bahkan saat kita benar-benar dilukai, kita pun bisa jadi telah menyumbang pada luka itu—secara sadar atau tidak.
Sebagai orang yang pernah berdosa dengan doa penuh kutuk, aku kini bisa berbelas kasih kepada mereka yang melakukan hal yang sama. Kadang kita mengutuk bukan karena benci semata, tapi karena tidak berdaya, tidak sanggup menerima kehilangan, atau karena belum sadar betapa kita pun menyakiti.
Dan jika kamu merasa benar-benar korban, itu sah-sah saja. Kamu yang paling tahu kisahmu—dan Tuhan juga tahu. Tapi dalam ilmu viktimologi yang kupelajari, sering kali korban pun memiliki andil dalam rangkaian kejadian, meski kecil.
Aku tahu mendoakan kutuk itu dosa. Tapi Tuhan tahu dari mana asalnya: dari luka.
Dan aku berdoa, semoga lukamu—dan lukaku—pelan-pelan pulih.
Agar doa yang keluar dari mulut kita suatu hari nanti adalah doa yang menabur kasih, bukan kutuk.
![]() |
Ben White on Unsplash |
Karena seperti tertulis dalam Galatia 6:7:
“Apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.”
Mari bersama-sama belajar menabur kembali.
Menabur dengan luka yang sedang dipulihkan,
bukan dengan luka yang membusuk.
Damai Kristus menyertai kalian semua.
Amin.
In the name of the Father, the Son, and the Holy Spirit.
Dear friends,
May this writing find you in peace and hope.
Have you ever prayed for someone while burning with rage?
Have you ever found curses pouring out of the same mouth that once spoke blessings?
Let’s be honest, fellow sinners—I have.
I’ve been so deeply wounded that my tongue, which once pleaded for someone’s salvation, ended up cursing them. I regret it.
But… can we actually pray for someone’s destruction?
🌿 The Tongue: Source of Both Blessing and Curse
Theologically, the answer is no. James 3:10 says:
“Out of the same mouth come praise and cursing. My brothers and sisters, this should not be.”
Likewise, in Romans 12:14, Paul reminds us:
“Bless those who persecute you; bless and do not curse.”
I understand how hard it is to bless those who hurt us.
That’s why Paul also tells us to leave room for God’s justice:
“Beloved, never avenge yourselves, but leave room for the wrath of God, for it is written, ‘Vengeance is Mine, I will repay,’ says the Lord.”
(quoting Deuteronomy 32:35)
This verse is often misunderstood—as if we can simply refrain from revenge while secretly hoping that God will “get back” at them for us. But that’s not the point.
⚖️ Not Holy Vengeance
God is not our personal instrument of revenge.
What we believe deserves punishment may not align with God’s definition of justice.
Even when we’ve truly been wronged, we may have unknowingly contributed to the hurt—whether we realize it or not.
As someone who has once sinned through a prayer full of curses, I’ve come to have compassion for others who do the same.
Sometimes we curse not out of hatred alone, but out of helplessness, the inability to process loss, or simply because we haven’t yet realized how much we’ve also hurt others.
💔 When Wounds Disguise Themselves as Prayer
And if you truly are a victim, that is valid. You know your story best—and God knows it, too.
But in the field of victimology I’ve studied, it’s often acknowledged that victims, even unknowingly, can play a part in the chain of events.
I know that praying in anger is a sin. But God knows where that prayer came from: from pain.
And so I pray, that your wounds—and mine—may slowly heal.
So that one day, the prayers from our lips will sow love, not curses.
🌱 Sowing Again
As written in Galatians 6:7:
“Whatever a man sows, that he will also reap.”
Let us learn to sow again.
To sow not from wounds that fester,
but from wounds that are being healed.
May the peace of Christ be with you all.
Amen.
Salam dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Aku ingin berbagi secuil kisah yang mungkin terdengar aneh. Tapi kisah ini nyata, dan menandai titik balik dalam perjalanan hidupku bersama Tuhan.
Aku bersyukur pernah bekerja di kantor hukum—karena menjadi advokat adalah cita-citaku sejak lama. Bahkan aku diberi bantuan untuk pengambilan sumpah advokat. Itu anugerah besar. Tapi lambat laun, tekanan pekerjaan mulai menggerusku dari dalam.
Aku yang tidak kuat mental ini merasa perlahan runtuh. Aku mulai meragukan diriku sendiri. Tapi aku tidak berani mengundurkan diri. Aku takut dipandang tidak tahu diri, tidak bersyukur—oleh Tuhan, oleh orang-orang yang membantuku, bahkan oleh diriku sendiri.
Sampai akhirnya, dalam doa yang lirih dan penuh beban, aku berkata:
“Tuhan, aku bukannya tidak bersyukur. Tapi aku sungguh-sungguh tidak kuat. Kalau Engkau izinkan aku dipecat, aku akan lebih bersyukur lagi. Aku percaya Engkau akan membuka jalan yang lain.”
Keesokan paginya, aku benar-benar dipecat.
Dan anehnya, aku merasa lega.
Bukan karena aku senang kehilangan pekerjaan, tapi karena aku tahu: Tuhan mendengar. Tuhan mengerti.
Aku bahkan mentraktir teman-teman sekantor siang itu—sebagai bentuk syukurku atas kelegaan yang baru saja Tuhan berikan.
Tak sampai dua bulan kemudian, aku mendapatkan pekerjaan baru yang lebih sesuai dengan kapasitas mentalku. Bukan hanya itu, aku juga mendapat kesempatan melanjutkan S2 di salah satu universitas terbaik di Indonesia—bonus yang datang sebagai jawaban atas doa novena kepada Hati Kudus Yesus.
Melalui kesaksian ini, aku ingin menyapa siapa pun yang sedang berada di titik nyaris menyerah.
Kamu yang bekerja sambil menahan tangis.
Kamu yang bertahan demi keluarga, meski hatimu hancur setiap hari.
Kamu luar biasa.
Aku tidak menyarankanmu untuk berdoa agar dipecat atau langsung resign. Tapi aku ingin kamu tahu bahwa Tuhan melihatmu. Tuhan tidak tuli. Tuhan tidak buta.
Kelelahanmu tidak akan sia-sia di hadapan-Nya.
Dalam Alkitab, Yusuf pun pernah berada dalam tekanan pekerjaan yang berat. Ia memilih melarikan diri saat godaan datang dari istri tuannya. Ia difitnah dan dipenjara. Tapi Tuhan tetap menyertainya—hingga akhirnya ia menjadi wakil Firaun di tanah Mesir (Kej. 41:40–42).
Aku pun dulu menganggap cerita-cerita seperti itu terlalu jauh dari kenyataan. Tapi sekarang aku tahu, Tuhan memang hadir. Bahkan dalam cara yang tak terduga.
Kiranya damai Kristus menyertai kita semua.
Dan semoga siapa pun yang membaca ini bisa menemukan kembali nafasnya, satu helaan demi satu helaan.
Amin.
In the name of the Father, the Son, and the Holy Spirit.
I want to share a small piece of my story—one that may sound strange. But this story is real, and it marks a turning point in my journey with God.
I was grateful to have worked at a law firm—because becoming a lawyer had been my dream for a long time. I was even given financial support to take the oath as an advocate. That was a huge blessing. But gradually, the pressure of the job began to eat away at me from the inside.
With a fragile mind, I started to crumble. I began to doubt myself. But I didn’t dare to resign. I was afraid of being seen as ungrateful—by God, by the people who had helped me, and even by myself.
Until one day, in a quiet and burdened prayer, I said:
“Lord, it’s not that I’m ungrateful. But I truly am not strong enough. If You allow me to be dismissed, I would actually be even more grateful. I believe You will open another path for me.”
The next morning, I was actually fired.
And strangely, I felt relieved.
Not because I was happy to lose a job, but because I knew: God heard me. God understood.
That very afternoon, I treated my coworkers to lunch—as a form of thanksgiving for the relief God had just given me.
In less than two months, I got a new job—one that was much more suitable for my mental capacity. And not only that, I was also granted the opportunity to pursue my master’s degree at one of the best universities in Indonesia—a bonus that came as an answer to a novena prayer to the Sacred Heart of Jesus.
Through this testimony, I want to speak to anyone who’s standing on the edge of giving up.
To you who work while holding back tears.
To you who keep going for your family, even though your heart is breaking every single day—
You are incredible.
I’m not suggesting that you pray to be fired or resign immediately. But I do want you to know this:
God sees you.
God is not deaf.
God is not blind.
Your exhaustion is not in vain before Him.
In the Bible, Joseph also experienced intense pressure at work. He chose to flee when temptation came through his master’s wife. He was falsely accused and imprisoned. But God remained with him—until he eventually became Pharaoh’s second-in-command in Egypt (Genesis 41:40–42).
I used to think stories like that were too far from reality. But now I know: God is present.
Even in the most unexpected ways.
May the peace of Christ be with us all.
And may anyone reading this find their breath again—one inhale at a time.
Amen.
Selamat malam kekasih hatiku
Yang sedang penuh dengan penat
Namun selalu mendengar resahku yang kanak-kanak
Yang tiap malam selalu kupanjatkan pada Kekasih Jiwaku
Yang mungkin lupa bertelut untuk hidupnya
Tapi tak pernah luput dalam sujudku
Nona Nagisa,
Bandung, 17 Juni 2018
Merindukanmu bagaikan gemuruh petir menyambar
Merindukanmu bagaikan tetes hujan membasahi bumi
Merindukanmu bagaikan terik mentari di tengah sahara
Merindukanmu bagaikan Kota Mati Craco
Merindukanmu bagaikan bait puisi tanpa ritme
Dalam telut kubertanya, "Akankah engkau merindukanku?"
Nona Nagisa,
Bandung, 05 Mei 2018
Akhir-akhir ini, aku sedang membaca Kitab Imamat. Banyak frasa yang muncul—tentang penyakit najis, ini itu najis, dan lain-lain. Lama-kelamaan aku bertanya dalam hati: “Kenapa sih ini semua dibilang najis?” Itulah pergumulanku selama menjalani bacaan Alkitab satu tahunan ini.
Sampai suatu hari, aku menonton video dari Bible Project yang membahas tentang kekudusan. Dan di sanalah aku merasa tercerahkan.
Ternyata, Hukum Taurat tentang najis dan cemar bukan dibuat untuk menyalahkan manusia, melainkan sebagai bagian dari ritus pengudusan. Tujuannya satu: agar umat bisa datang kepada Tuhan dalam kekudusan.
“Sebab Aku ini TUHAN, Allahmu. Maka kamu harus menguduskan dirimu dan kamu harus kudus, sebab Aku ini kudus.”
— Imamat 11:44a
Itu bukan tentang menunjuk seseorang sambil berkata, “Kamu najis!” atau “Kamu cemar!”—karena semangat seperti itu justru bertentangan dengan hukum kasih: kasihilah sesamamu manusia.
Di film The Chosen, diperlihatkan bagaimana kerasnya perlakuan masyarakat Israel terhadap perempuan yang mengalami pendarahan. Dan aku pun mulai melihat: yang rusak itu bukan hukum Tuhan, melainkan interpretasi yang lupa akan belas kasih.
Namun, ada satu hal yang masih belum kupahami: seperti apa rasanya datang kepada Tuhan dalam kekudusan? Karena, jujur, aku belum merasa kudus.
“Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah.”
— Matius 5:8
Doakan aku, ya. Supaya aku bisa bertumbuh dalam kekudusan. Supaya aku tahu rasanya datang ke hadirat Tuhan bukan dengan rasa malu atau takut, tapi dengan rasa hormat dan kasih. Supaya aku bisa lebih mengerti hati-Nya.
Sumber: Bible Project
Lately, I’ve been reading the Book of Leviticus.
So many phrases keep appearing—about unclean diseases, this is unclean, that is unclean, and so on.
Eventually, I found myself asking, “Why is everything called unclean?”
That’s been my inner struggle throughout this one-year Bible reading journey.
Then one day, I watched a video from The Bible Project about holiness.
And that’s when I felt enlightened.
It turns out, the laws of uncleanness and impurity in the Torah weren’t created to blame or shame people,
but rather as part of the process of sanctification.
The purpose was simple: so that the people could come before God in holiness.
“For I am the LORD your God. Consecrate yourselves therefore, and be holy, for I am holy.”
— Leviticus 11:44a
It was never about pointing fingers and saying, “You are unclean!” or “You are impure!”
Such a spirit would go against the very heart of the law of love: love your neighbor as yourself.
In the series The Chosen, there’s a scene that shows the harsh treatment of a woman suffering from bleeding.
And then I began to see:
What’s broken is not God’s law, but the interpretation that forgets compassion.
Still, there’s one thing I haven’t yet understood:
What does it feel like to come before God in holiness?
Because honestly, I don’t feel holy.
“Blessed are the pure in heart, for they shall see God.”
— Matthew 5:8
Please pray for me.
That I may grow in holiness.
That I may one day come into God’s presence not with shame or fear,
but with reverence and love.
That I may come to understand His heart more deeply.
Manusia pasti pernah merasakan jatuh cinta—merasakan sukacita dan bahagia yang meluap-luap saat bersama seseorang yang kita cintai. Namun seiring waktu, cinta tidak selalu bicara tentang kebahagiaan. Ada kalanya, cinta berubah menjadi ruang sunyi yang penuh ketegangan. Tidak selalu karena hal besar, tetapi justru karena hal-hal yang tampak sepele.
Misalnya soal sambal.
Si cewek suka bikin sambal dengan blender karena praktis. Tapi si cowok merasa sambal blender kehilangan “jiwanya”—baginya, sambal harus diulek. Terlihat sederhana, tapi dari perbedaan kecil seperti itu, relasi bisa berubah menjadi medan yang melelahkan.
Di tengah konflik, kita mulai bertanya:
Apakah yang sedang kupertahankan ini cinta... atau hanya egoku?
Kita ingin dimengerti, tapi malu mengalah. Kita ingin disayang, tapi gengsi untuk bicara duluan. Pada akhirnya, yang tersisa bukan percakapan, tetapi kesunyian yang menusuk.
Maaf jika memang aku yang bersalah
Lelah dengan kesunyian ini
Bersama pun tak saling bicara
— Lyodra, Ego
Lirik lagu Ego yang dibawakan Lyodra terasa begitu jujur. Ia menggambarkan rasa frustrasi dua hati yang saling mencinta, tapi tak lagi tahu caranya saling meraih. Tidak ada teriakan, tidak ada drama. Hanya hening. Dan justru di dalam hening itu, kita merasa semakin rapuh.
Tuhan, tolonglah diriku
Ku tak ingin pisah dengannya
Ada kalanya, satu-satunya tempat bersandar hanyalah Tuhan. Ketika logika tak lagi sanggup merasionalkan hubungan, ketika lidah kelu untuk meminta maaf, dan hati terlalu lelah untuk kembali mengalah.
Kita ingat senyumnya.
Kita ingat bagaimana ia gugup atau canggung saat bersama kita.
Kita masih mencintainya—tapi, mau sampai kapan bertahan... dalam diam?
Humans have all experienced falling in love—feeling overwhelming joy and happiness when we're with someone we love. But over time, love doesn’t always speak of happiness. Sometimes, love turns into a silent space filled with tension. Not always because of something big, but often because of things that seem trivial.
Take chili sauce, for example.
The girl likes to make chili sauce using a blender because it’s practical. But the boy feels that blended chili loses its “soul”—for him, chili sauce should be ground with a mortar and pestle. It may seem simple, but from such small differences, a relationship can slowly turn into an exhausting battlefield.
In the midst of conflict, we begin to ask ourselves:
Am I holding on to love... or just to my ego?
We want to be understood, yet we’re too proud to yield.
We long to be loved, but we’re too stubborn to speak first.
And in the end, what remains is not a conversation, but a silence that pierces.
I’m sorry if I’m the one at fault
Tired of this silence
Even when we’re together, we don’t talk to each other
— Lyodra, Ego
The lyrics of Ego, performed by Lyodra, feel deeply honest. They capture the frustration of two hearts still in love, but no longer knowing how to reach each other. There are no screams, no dramatic fights. Only silence. And in that silence, we feel even more fragile.
God, please help me
I don’t want to part from him
Sometimes, the only place left to lean on is God.
When logic can no longer make sense of the relationship,
When words fail to ask for forgiveness,
And the heart is too weary to surrender again.
We remember his smile.
We remember how nervous or awkward he got around us.
We still love him—but how long can we keep holding on... in silence?
“Oh God, He doesn’t love me. Well, neither do I.”
Potongan lirik dari lagu Amor Fati yang dinyanyikan oleh Epik High ft. Kim Jong Wan of NELL ini mungkin terasa mengganggu bagi sebagian orang yang tumbuh dalam tradisi religius. Namun bagi mereka yang pernah jatuh dalam lubang keputusasaan, kalimat itu bisa terasa begitu jujur. Lagu ini bukan sekadar musik — ia adalah jeritan batin dari orang-orang yang mencoba mencintai hidup, namun justru merasa ditolak oleh kehidupan itu sendiri.
Amor Fati merupakan salah satu gagasan penting dari filsuf Friedrich Nietzsche. Secara harfiah berarti “mencintai takdir,” konsep ini mengajak kita untuk tidak hanya menerima kenyataan hidup — baik yang indah maupun yang pahit — tetapi juga mencintainya. Nietzsche melihat penderitaan sebagai bagian tak terelakkan dari keberadaan manusia, dan sikap mencintai takdir menjadi semacam bentuk keberanian tertinggi: hidup bukan dengan keluhan, tapi dengan penerimaan yang dalam.
Namun, mencintai takdir tidaklah mudah. Dibandingkan berdamai dengan hidup, beberapa orang justru memilih melarikan diri darinya. Hal inilah yang diungkapkan dengan sangat gamblang dalam lagu Amor Fati.
You try to run away, run away from the world
But then you run away, run away from yourself
And you don’t know the way home
But they call me a non-believer
Ada saat-saat dalam hidup ketika kita ingin lari — bukan hanya dari rasa sakit, tapi dari seluruh dunia yang terasa terlalu berat. Namun, dalam pelarian itu, kita justru makin jauh dari diri sendiri. Lagu ini menyuarakan keresahan itu dengan jujur: keputusasaan yang tidak lagi mencari jawaban, tapi hanya ingin menjauh.
Oh God, He doesn’t love me
I know He doesn’t love me
Well, neither do I
We are the others
He doesn’t love
Dalam bagian ini, sang penulis lagu menyampaikan pergulatan spiritual yang dalam. Ia merasa ditolak oleh Tuhan — dan pada akhirnya, menolak Tuhan itu sendiri. Agama yang biasanya menjadi tempat berlindung pun terasa tidak mampu menjawab realitas penderitaan yang ia hadapi. Maka ia memilih menjadi "the others", mereka yang tersingkir dan terasing, bukan hanya dari masyarakat, tetapi juga dari cinta ilahi.
Sebagai orang Indonesia yang sejak kecil dididik untuk menjunjung tinggi Ketuhanan Yang Maha Esa, aku pribadi hanya bisa membayangkan: seberat apa luka seseorang hingga sampai pada kesimpulan bahwa Tuhan tidak mencintainya?
Aku tidak punya jawaban pasti. Tapi aku tahu, tidak semua orang punya kemewahan untuk merasa dekat dengan Tuhan setiap saat. Ada yang berdoa tapi hanya merasakan sunyi. Ada yang berseru tapi tak kunjung dijawab. Dan ada juga yang mencoba mencintai Tuhan, tapi justru makin merasa hancur.
Namun... benarkah Tuhan tidak mencintai kita? Ataukah cinta-Nya hadir dalam bentuk yang tak selalu bisa kita mengerti saat sedang menderita?
Mungkin, mencintai takdir bukan berarti selalu bersyukur dengan senyum. Bisa jadi, itu justru berarti berani menangis, berani marah, dan tetap memilih bertahan — meski dunia terasa gelap, dan Tuhan seolah diam.
"Oh God, He doesn’t love me. Well, neither do I."
This line from the song Amor Fati by Epik High ft. Kim Jong Wan of NELL may be unsettling for those raised in religious traditions. But for those who have fallen into the pit of despair, these words can feel painfully honest. This song is not just music — it is the soul’s cry of those who are trying to love life, yet feel rejected by life itself.
Amor Fati is one of the key concepts introduced by philosopher Friedrich Nietzsche. Literally meaning “love of fate,” this idea invites us not only to accept life — both its beauty and its bitterness — but to love it. Nietzsche viewed suffering as an inescapable part of human existence, and loving one’s fate becomes a kind of ultimate courage: to live not with complaints, but with deep acceptance.
However, loving fate is not easy. Instead of making peace with life, some people choose to run away from it. This is exactly what the song Amor Fati portrays so vividly.
You try to run away, run away from the world
But then you run away, run away from yourself
And you don’t know the way home
But they call me a non-believer
There are moments in life when we want to run — not just from pain, but from the entire world that feels too heavy to bear. Yet in that escape, we often end up even farther from ourselves. This song gives voice to that restlessness: a kind of despair that no longer seeks answers, only distance.
Oh God, He doesn’t love me
I know He doesn’t love me
Well, neither do I
We are the others
He doesn’t love
In these lines, the songwriter expresses a profound spiritual struggle. He feels rejected by God — and in turn, rejects God. Religion, which is often seen as a refuge, seems unable to answer the harsh reality of his suffering. So he chooses to become "the others" — those who are outcast and alienated, not only from society, but also from divine love.
As someone raised in Indonesia, a country that deeply values belief in Almighty God, I can only imagine: how deep must someone’s wounds be to reach the conclusion that God doesn’t love them?
I don’t have a definite answer. But I do know that not everyone has the privilege of always feeling close to God. There are those who pray but only hear silence. Those who cry out but receive no reply. And there are those who try to love God, only to feel even more broken.
But… does that mean God doesn’t love us? Or is it that His love comes in forms we can’t always understand while we’re suffering?
Perhaps, loving fate doesn’t mean smiling through every hardship. Maybe it means having the courage to cry, to be angry, and still choosing to endure — even when the world feels dark, and God seems silent.
Dalam keheningan
Aku kembali berkelip
Lalu berarak Sang Purnama
Bersua dielakkan
Sepemandangan pekat darah
Duhai Tuan,
Masihkah engkau dilekat murka?
Nona Nagisa,
Bandung, 02 Mei 2018
Salam dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus.
Aku berharap tulisan ini menemukanmu dalam keadaan sehat walafiat.
Awalnya, aku hendak menulis tentang syukur—karena itu yang lebih aku pahami. Aku bersyukur atas banyak hal: atas doa-doa yang dikabulkan, atas pertolongan Tuhan yang datang di waktu yang tepat. Tapi entah mengapa, hatiku justru mendorongku untuk menulis tentang sukacita. Jujur saja, aku tidak tahu kenapa. Karena sampai sekarang, aku sendiri belum yakin apakah aku sudah bersukacita… atau bahkan tahu apa itu sukacita.
Yang aku tahu, aku masih mengingat luka-luka yang belum sembuh. Aku mungkin sudah mati rasa terhadapnya, tapi bukan berarti sudah pulih. Maka menulis tentang sukacita rasanya seperti bicara tentang sesuatu yang jauh—sekaligus dekat. Aneh, ya?
Tapi justru karena itu, aku menulis. Sebagai bentuk perjalanan. Sebagai ruang untuk mencari dan mengenali apa itu sukacita—dengan jujur, dengan terbuka.
Tahun 2019, aku memilih berhenti bekerja karena sedang berduka atas kepergian Oppung Mami. Saat aku merasa cukup kuat untuk kembali bekerja, aku mulai melamar pekerjaan. Tapi nyatanya, mendapatkan pekerjaan tidaklah semudah itu. Teman-temanku sudah bekerja, sementara aku masih bergumul sebagai pengangguran—diiringi tekanan dari keluarga.
Aku berdoa dengan segala cara. Bahkan, pernah suatu kali aku berdoa lalu muntah setelahnya. Tubuhku ikut lelah. Tapi di antara semua doa itu, ada satu kalimat yang kurasa menyentuh hati Tuhan lebih dalam daripada yang lain:
“Tuhan, terserah mau buat aku nganggur sampai kapan. Asal jangan sampai tahun depan. Tahun depan adikku mau kuliah. Kasihan mamak dan bapak.”
Dan pada Januari 2020, aku diterima di salah satu kantor hukum terbaik. Pekerjaan itu sesuai dengan cita-citaku sebagai advokat. Rasanya seperti pelukan lembut setelah badai panjang. Mungkin… mungkin itu adalah benih sukacita. Meskipun aku tetap tidak tahu apakah itu benar-benar sukacita. Karena aku tidak tahu bagaimana seharusnya perasaan sukacita itu terasa.
Kalau kamu sedang mengalami masa sulit—seperti aku dulu saat menganggur—dan kamu tidak bisa bersukacita, itu bukan salahmu. Kita tidak bisa memaksa diri untuk bersukacita. Kadang, orang lain yang melihat lebih dulu apakah ada sukacita dalam diri kita. Sukacita, seperti buah Roh lainnya, tumbuh pelan-pelan dan bisa dirasakan orang di sekitar kita, bahkan sebelum kita menyadarinya.
Aku menulis ini bukan karena aku sudah mengerti semuanya. Aku menulis ini karena aku ingin jujur. Karena aku rindu tetap berjalan dalam kasih Kristus, meski belum bisa tersenyum dengan penuh.
Jika kamu juga sedang mencari sukacita, mari kita cari bersama. Mungkin sukacita tidak selalu hadir dalam bentuk tawa atau senyum lebar. Kadang, ia hadir dalam bentuk napas lega. Kadang, dalam pelukan diam. Kadang, dalam kekuatan untuk tetap bangun di pagi hari dan berkata, “Tuhan, aku belum menyerah.”
It's not our fault kalau kita tidak bisa bersukacita hari ini. Tapi jangan berhenti melangkah. Karena sukacita bukan ujian kelulusan. Ia adalah buah dari relasi yang terus bertumbuh.
Kiranya damai sejahtera Kristus menyertai kita semua.
— Nona Nagisa
In the name of the Father, the Son, and the Holy Spirit.
I hope this writing finds you in good health and peace.
At first, I intended to write about gratitude—because that’s what I understand better. I am grateful for many things: for prayers that have been answered, for God’s help that always comes at the right time. But somehow, my heart nudged me to write about joy. To be honest, I don’t know why. Because even now, I’m not sure if I’ve ever truly felt joy… or even know what joy really is.
What I do know is—I still remember wounds that haven’t healed.
Maybe I’ve grown numb to them, but that doesn’t mean I’ve recovered.
And so, writing about joy feels like talking about something both far away—and strangely near.
Weird, isn’t it?
But perhaps that’s exactly why I’m writing.
As a part of the journey.
As a space to search and recognize what joy really is—with honesty, with openness.
When Prayer Becomes Tears
In 2019, I chose to quit my job while grieving the death of my grandmother, Oppung Mami.
When I felt strong enough to return to work, I started applying to jobs.
But in reality, getting hired wasn’t that easy.
My friends had all found jobs, while I was still struggling with unemployment—and with pressure from my family.
I prayed in every way I could.
There was even a time when I prayed and ended up vomiting right after.
My body was exhausted.
But in the midst of all those prayers, one sentence felt like it pierced God’s heart more deeply than the others:
“Lord, it’s okay if I stay unemployed for a while. Just please… not next year. My little brother is starting college. Please don’t burden Mom and Dad even more.”
And in January 2020, I was accepted to one of the best law firms in the country.
That job aligned perfectly with my dream of becoming a lawyer.
It felt like a soft embrace after a long storm.
Maybe… maybe that was the seed of joy.
Even though I still didn’t know if it really was joy.
Because I didn’t know what joy was supposed to feel like.
Joy Cannot Be Forced
If you’re going through a hard time—like I once did during my unemployment—and you’re finding it hard to feel joyful, it’s not your fault.
We can’t force ourselves to feel joy.
Sometimes, others can sense it in us before we ever notice it ourselves.
Joy, like the other fruits of the Spirit, grows slowly.
And often, others feel it before we do.
I’m not writing this because I understand everything.
I’m writing this because I want to be honest.
Because I long to keep walking in Christ’s love, even if I still don’t know how to smile fully.
To You Who Are Still Searching, Too
If you’re also searching for joy, let’s search together.
Maybe joy doesn’t always come in the form of laughter or wide smiles.
Sometimes, it comes as a deep sigh of relief.
Sometimes, in a silent embrace.
Sometimes, in the quiet strength to wake up in the morning and say, “Lord, I haven’t given up yet.”
It’s not our fault if we don’t feel joyful today.
But don’t stop walking.
Because joy is not a test we have to pass.
It is a fruit—born from a relationship that keeps growing.
May the peace of Christ be with us all.
— Nona Nagisa
--- Tak dapat tangan menggenggam Sebab gengsi Tak dapat merengkuh Sebab gengsi Tak dapat kasih diucap Sebab gengsi Tak dapat mengecup Sebab ...